02❣ I Feel Okay When I See You Smile

573 85 2
                                    

"Kau menunggu jemputan?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kau menunggu jemputan?"

Aerin menoleh, menatap Jaemin yang akhir-akhir ini selalu bersamanya. Anak laki-laki dengan kaus putih lusuh itu duduk di sebelahnya, ikut menatap jalanan yang ramai.

Setelah kejadian menolong Aerin saat ia dirundung, mereka berdua jadi sering bersama. Meskipun Jaemin berbeda sekolah dengannya, anak laki-laki itu sering menghampirinya saat sore. Contohnya seperti saat ini. Saat ia menunggu jemputan di depan sekolahnya yang sudah sepi.

Sebentar lagi malam datang. Ibu belum juga menjemputnya.

"Kau selalu dijemput terlambat?" tanyanya lagi.

Aerin menggeleng. "Hanya terkadang. Ibu banyak acara sehingga kadang lupa menjemputku."

Jaemin tersenyum. "Orang tua selalu begitu. Tapi tak apa. Jangan bersedih. Ibumu pasti melakukan semua itu untukmu."

Ya, begitulah. Aerin sudah berumur 11 tahun. Ia tahu ibunya sibuk untuknya, membanting tulang untuk biaya sekolahnya, biaya sekolah kakaknya. Ia tidak melakukan apa-apa. Sebagai gantinya, tidak masalah ia menunggu di depan sekolah meskipun lama.

Aerin jadi penasaran tentang anak laki-laki di sebelahnya. Sejak kapan ia tinggal di panti asuhan? Dengan siapa? Bagaimana bisa? Dan pertanyaan itu lolos keluar dari mulutnya detik selanjutnya.

Lagi-lagi Jaemin tersenyum. Senyuman tulusnya yang membuat hati Aerin merasa seolah dunia baik-baik saja dengan senyuman itu. Jaemin ini ... ada yang berbeda dengan senyuman anak laki-laki itu. Aerin tidak bisa menjelaskan bagaimana detailnya.

"Kau tahu, aku dibuang orang tuaku."

Aerin terhenyak. Bukan karena ceritanya, tapi karena anak laki-laki itu masih tersenyum dengan perkataannya yang mengejutkan.

"Kau ... tidak sedih? Kenapa kau tersenyum?"

Jaemin terkekeh. "Ekspresimu berlebihan. Kau membuatku takut, Aerin."

"Senyummu yang menakutiku." Aerin berbohong tentang ini. Senyum Na Jaemin sama sekali tidak menakutkan. Ia hanya tidak mengerti mengapa anak laki-laki itu tidak bersedih ketika tahu kenyataan bahwa orang tuanya membuang dirinya.

"Aku memang dibuang. Tapi karena hal itu aku bahagia bisa bertemu teman-temanku di panti, keluargaku," jelasnya. Senyumannya memang tidak selebar tadi. Tapi Jaemin sama sekali tidak bersedih karena ceritanya.

"Tapi, itu kan...."

"Kenapa? Aneh karena aku tidak menangis? Di beberapa waktu aku memang bersedih. Tapi hanya sebentar. Kau tahu, hidup itu untuk berbahagia. Lupakan segala kesedihan dan tersenyumlah. Dunia akan baik-baik saja setelahnya. Apa pun masalahnya."

Aerin terdiam lama. Dia tidak pernah mendengar kalimat seperti itu dari teman-temannya. Ini pertama kali kalimat membangkitkan semangat itu ia dengar dan dari mulut Jaemin teman barunya.

Entah mengapa, masalahnya tentang teman yang merundungnya, tentang ibu yang terkadang terlambat menjemput, atau ayah yang terkadang mengamuk di rumah, semua hal itu menjadi lenyap entah ke mana. Ia ikut tersenyum, membebaskan perasaannya dari rasa sedih.

Benar juga. Dunianya lebih baik. Terlebih menatap wajah Jaemin yang ikut tersenyum.

"Nana, kapan-kapan ayo bermain bersama. Di hari libur mungkin."

Anak laki-laki itu mengangguk. "Itu ide bagus. Kalau luang aku akan keluar. Kau tahu, hari libur itu sama saja seperti hari biasa di tempatku. Kita semua tetap harus mempunyai kegiatan."

"Oh ya? Kegiatan seperti apa?" Aerin yang penasaran bertanya.

"Berolahraga, kerja bakti membersihkan rumah, memasak.... emm, apa lagi, ya?"

"Memasak?" Mata Aerin berbinar mendengar satu pekerjaan itu. Ia suka memasak. Di rumah ia paling rajin membantu ibunya membuat makanan. Tidak hanya makanan sehari-hari, tetapi juga kue dan beberapa puding.

"Kau suka memasak?"

Aerin mengangguk membenarkan.

"Kalau begitu, kenapa tidak datang ke panti asuhanku? Di sana ada banyak teman. Kau pasti akan suka."

Mata Aerin tambah berbinar. Benar juga. Aerin sering kesepian di hari libur. Kakak Aerin satu-satunya itu sibuk dengan tugas sekolahnya. Alhasil, ia sering bermain sendiri. Melakukan apa pun yang ia sukai di rumah sendirian tanpa teman.

Ibu sudah lelah bekerja. Tidak mungkin Aerin merecokinya. Ayahnya lebih-lebih. Ia bisa kena marah nantinya.

"Apa boleh?"

Jaemin mengangguk. "Tentu saja."

Suara klakson mobil terdengar kemudian. Aerin tersenyum ketika mendapati mobil ibunya berhenti tak jauh di depan mereka berdua. Ibu menurunkan kaca mobil, melambaikan tangan agar Aerin segera masuk.

"Kita bicarakan lagi besok, Na. Sepulang sekolah. Aku harus pulang sekarang."

Jaemin tersenyum, mengangguk.

Aerin berlari menuju mobil, masuk ke dalamnya. Sebelum mobil ibunya melesat pergi, ia melambaikan tangan pada anak laki-laki dengan senyuman yang tak pernah luntur itu.

Na Jaemin balik melambaikan tangan.

Aerin tersenyum, masih menatap sosok Jaemin yang kemudian menghilang karena mobil ibunya yang berbelok arah.

Sore ini terasa lebih baik. Bahkan saat ibunya marah-marah karena tadi pagi ia lupa membawa bekal. Beban hatinya berkurang. Entah karena apa. Yang pasti, senyuman Jaemin dan cerita hidupnya membuat Aerin termotivasi.

Jaemin bahagia meskipun orang tua kandungnya membuangnya. Kenapa Aerin tidak bahagia dengan keluarga lengkapnya?

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dandelions [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang