Sagara-1

3.1K 228 18
                                    

◇◇◇

Sagara, pemilik senyuman manis yang jarang terpublikasikan itu hanya ia tunjukkan bagi orang-orang terdekatnya saja. Di sekolah, Sagara terkenal sebagai sosok yang cuek dan cukup tegas. Orang-orang bahkan mengenalnya sebagai pemuda dingin dan datar macam kulkas, karena ia yang jarang tersenyum apalagi tertawa lepas.

"Pelan-pelan Nak," tutur Indah ketika melihat putranya menjatuhkan botol.

Pagi ini, ia membantu sang ibu menyiapkan pesanan susu kedelai hasil olahan Indah.

"Botolnya licin, maafin Saga ya, Bu." Ia berucap dengan nada rendah. Tak pernah sekali pun Saga melontarkan kata dengn nada tinggi, pemuda ini terlalu menghormati wanita tersebut.

"Iya nggak apa-apa, lain kali hati-hati." Sang ibu pun menjawab dengan penuh kelembutan.

"Hari ini pesenannya ada tiga puluh botol. Lima buat Ibu Lurah, delalan buat ke Ibu Hajah Nina, sepuluh buat ke TK Buana, sisanya kamu bawa ke panti asuhan biasa."

Di panti asuhan sana ada tujuh balita yang masih harus meminum susu, dan Indah selalu berinisiatif untuk memberikan susu pada mereka.

"Udah, kamu mandi dulu aja terus sarapan ya, takutnya telat."

"Iya, Bu. Kalo gitu Saga mandi dulu," pamitnya dan segera melenggang pergi ke belakang.

Sementara Indah kembali membenahi pesanannya, tanpa tahu bahwa Saga tidak langsung mandi. Melainkan duduk terlebih dahulu di atas kasurnya guna menyempatkan diri melihat seseorang di dunia maya. Seseorang yang ia kagumi selama ini.

"Semoga semesta secepatnya menyatukan kita, Na." Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Menampilkan senyuman manis tiada tara. Mungkin mawar saja kalah eloknya dengan senyuman Saga yang tengah jatuh hati itu.

***

Sepi, hanya itu yang setia menemani keseharian Dewa sejak kepergian sosok ibu yang membuatnya menjadi pribadi yang kasar, ditambah perlakuan sang ayah yang tak bisa dibilang lembut. Sosok Ardian––ayahnya yang memiliki sifat tegas terhadap sang anak membuat Dewa tumbuh menjadi remaja nakal. Sering bolos sekolah, merokok diam-diam, bahkan ikut tawuran.

"Kita mulai hidup baru di Bandung, dan Papa harap kamu bisa merubah sikap kamu itu."

Suara Ardian memecah keheningan yang ada. Malas menanggapinya, Dewa justru berdiri dan berlalu tanpa pamit. Membuat pria paruh baya itu mendengkus kesal atas sikap sang putra tunggal.

"Ini hari pertama kamu sekolah, jangan buat masalah." Ucapan itu seolah menjadi angin lalu, hanya suara debuman pintu yang menjawabnya. Dewa terlanjur pergi dengan motornya. Ardian yang melihat itu lantas mengepalkan tangan kanannya. Namun tak lama setelahnya, terdengarlah helaan napas panjang dari mulut rentanya. Ardian sedang mencoba sabar mengadapi sifat Dewa yang memang menuruni sifat darinya juga.

Kembali pada Dewa. Meski terbilang baru, tetapi Dewa sama sekali tidak kesulitan mengenali jalanan Badung dan tampat lainnya.Baginya selama internet masih bisa diakses, dia tidak pernah merasa takut pergi kemana pun.

Di persimpangan jalan ketika lampu berubah merah, Dewa tak sengaja melihat seorang pemuda yang sedang tersenyum sambil berbagi bebarapa botol yang sepertinya berisi susu pada seorang wanita paruh baya. Dewa pun melirik pada sebuah plang yang berdiri tak jauh dari kedua orang itu. Panti Asuhan Firdaus, bagitu tulisannya. Seketika Dewa terdiam, ia tersenyum tipis. Dalam hati ia bersyukur karena masih ada sang ayah yang mau merawatnya meskipun sikapnya tidak mencerminkan seorang ayah yang baik. Namun itu lebih baik bila dibandingkan dengan berada di tempat serupa bangunan itu. Dewa tak pernah bisa membayangkan bagaimana hidup serba kekurangan di panti asuhan.

Sagara [Revisi]Where stories live. Discover now