Ree sempat melihat wajah Kai yang seakan merasa bersalah. Pria itu cepat-cepat menyusul Ree. "Maaf, Ree," katanya, "Aku tidak bermaksud..."

Dengan rahang terkatup lebih kencang, Ree memacu kakinya lebih cepat menaiki curam. Ia tidak mau mendengar apapun lagi. Julukan itu hanya membawa luka dan kenangan buruk baginya. Tanpa sadar, ia melirik bagian dalam pergelangannya. 

Hitam.

Matanya sudah berair dan terasa panas ketika ia memfokuskan ke depan kembali.

Dua titik hitam tertera di bagian dalam lengannya.

Bibirnya bergetar tatkala ia memaksa kakinya menanjak bukit. Dengan punggung membelakangi yang lain, ia berusaha mengatur napasnya yang menderu. Ia kedipkan matanya dengan cepat, berusaha menghapus linangan air matanya. 

Tidak. Ia tidak akan menangis.

Ia tidak pantas menangis.

Tidak ketika dua titik hitam di lengannya sudah memakan begitu banyak nyawa.

***

Menyadari bahwa Ree sudah kembali membisu diri, Kai menghela napas panjang. Rasanya perih di dada melihat Ree seperti itu. Kai pikir ia lebih suka melihat Ree yang selalu membalas ejekannya, Ree yang tidak takut sparring bersamanya, daripada melihat Ree menutup diri seperti ini. 

Gadis itu berjalan dengan punggung sedikit bungkuk. Seakan bebannya sangat banyak. Kai juga memperhatikan guratan hitam di bawah matanya bertambah banyak. Pria itu tahu sendiri bahwa Ree masih tidak dapat tidur dengan tenang. Mimpi buruk masih menghantui gadis itu. Dan tubuhnya... ia mengecil. Kai sudah memastikan Ree selalu mendapatkan porsi makanan tetapi gadis itu selalu saja menyisakan makanannya. 

Urgh! gerutunya dalam hati. Seumur-umur, ia tidak pernah begitu serba salah menghadapi seseorang. Dan ia sudah hidup begitu lama.

Mata Kai menangkap tatapan Penyihir Putih untuk sekilas. Meski memakai topeng, Kai dapat melihat mata hitamnya yang kelam. Sang Penyihir seakan berkata, 'Berilah ia waktu.'

Kai hanya dapat menghela napas. Ia tidak suka keadaan ini. Sangat tidak suka.

***

Setelah hampir seharian menaiki bukit yang curam, kru Penyihir Putih memutuskan untuk beristirahat ketika malam tiba. Mereka membuat api unggun untuk menghangatkan diri dan memasak air serta makanan.

Seperti biasa, Ree duduk agak menjauh dari kru Penyihir Putih. Ia selalu memastikan ada jarak antara dirinya dan mereka. 

Di hari-hari pertama, mereka masih mencoba untuk menginklusi Ree dalam percakapan dan senda gurau mereka. Namun ketika Ree hampir tidak pernah merespon, mereka akhirnya menyerah. 

Sudah seharusnya seperti itu, pikir Ree.

Duduk menjauh dari yang lain, Ree memperhatikan bayangan di bawah kakinya. Cahaya api unggun membuat bayangan di bawahnya menari di atas tanah. Ree menelengkan kepalanya. Tanpa sadar, ia membayangkan suara para bayangan yang biasanya selalu memiliki komentar untuk segala hal. 

Setelah beberapa hari dalam kesunyian, Ree harus mengakui dirinya cukup rindu akan para bayangan... Mungkin karena dirinya sudah terbiasa dengan suara-suara yang banyak namun satu itu. Suara-suara yang menemaninya setiap saat.

Tanpa sadar, Ree memutar jemarinya. Menggerakannya dengan ekspektasi para bayangan itu akan muncul. Ketika tidak ada sulur hitam yang menyambut jemarinya, ia perlu berkedip beberapa kali. 

Semenjak Turnamen Mentari, ia tidak bisa memanggil para bayangan. Dan kendati ia menyerap bola-bola api serta magis seluruh koloseum di punggungnya, ketika ia berusaha mengeluarkan magis itu... nihil. 

Negeri Mentari | Seri 2 Turnamen MentariWhere stories live. Discover now