Chapter 20 : Under The Moonlight

3.3K 550 53
                                    

.

.

Pagi ini tepat hari kedua Harry tidak keluar dari kamarnya sama sekali. Dua hari ia habiskan dalam keheningan, dan menangis pada waktu-waktu tertentu. Kreacher terus mengantarkan makanan ke kamarnya, namun tak satu pun hidangan itu disentuh olehnya. Ia benar-benar tidak ingin mengisi perutnya sama sekali.

Harry merasa kesal. Kesal pada dirinya sendiri. Kesal pada keadaan yang tengah mencekiknya kali ini. Jika saja Harry dapat mengendalikan perasaannya, tentu saja semua ini tak akan terjadi.

Pemuda bersurai hitam berantakan itu bangkit dari kasurnya, kemudian melangkahkan kedua kakinya ke kamar mandi. Tangannya meraih gerandel pintu kamar mandi yang dilapisi emas. Atau mungkin sesuatu yang menyerupai emas, entahlah ia tidak begitu yakin.

Ia menatap pantulan dirinya yang ditampilkan oleh cermin di hadapannya. Kacamata bundarnya sedang tidak bertahta di wajahnya. Matanya bengkak dan kemerahan, membuktikan bahwa pemuda itu banyak menangis belakangan ini. Selain itu, daerah di sekitar matanya juga menghitam karena ia kekurangan tidur. Satu kata yang dapat mendeskribsikan keadaannya saat ini, berantakan.

Saat matanya sibuk menatap pantulannya, isi kepalanya memutar kejadian malam itu. Malam di mana Remus mengatakan hal yang masih dapat ia ingat. Beberapa kalimat yang memenuhi kepalanya selama dua hari ini. Tidak. Ia tidak marah pada Remus karena perkataannya. Malah ia bersyukur karena dengan begini ia jadi tahu harus melakukan apa. Dan yang harus ia lakukan adalah pergi meninggalkan sosok yang diinginkan oleh hatinya.

Sakit. Tentu saja. Harry tidak dapat menyangkal perasaan itu. Hatinya benar-benar terasa bagai diiris dengan sedemikian rupa, hingga ia merasa hatinya hancur lebur. Hancur tak bersisa, sampai ia tak yakin apakah hatinya dapat menerima sosok lain selain Draco. Ia sadar hatinya menginginkan Draco. Namun keadaan tidak memberikan kesempatan untuk mereka berdua.

Puas menatap dirinya yang menyedihkan, Harry memutuskan untuk kembali ke kasurnya. Ia langsung menghempaskan dirinya begitu saja ke atas kasur. Ia mengambil satu bantal dan menutup wajahnya dengan bantal itu.

Saat ia sedang terdiam dengan segala isi kepalanya, ia menangkap suara ketukan pelan di pintu kamarnya. Harry memilih untuk mengabaikan ketukan itu karena ia tahu bahwa yang mengetuk adalah Kreacher yang hendak mengantarkan sarapannya pagi ini. Atau mungkin Remus yang mulai mengkhawatirkan dirinya.

Namun ketukan itu tak kunjung berhenti. Pintu itu masih tetap menggaungkan suara ketukan. Namun Harry tetaplah Harry. Pemuda keras kepala itu kembali menyamankan tubuhnya di atas kasurnya. Tak lupa ia menyembunyikan dirinya di balik selimut putih raksasa sehingga hanya sebagian rambut berantakannya saja yang dapat terlihat.

"Harry!" panggil seseorang di luar sana dengan suara pelan. Seseorang yang suaranya amat sangat Harry rindukan, namun harus ia hindari.

Pemuda beriris zamrud itu merasa bimbang kali ini. Apakah ia harus bangkit dan membukakan pintu, atau tidak. Jujur saja ia ingin melakukannya, namun ia tidak boleh. Lagi pula ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi saat melihat wajah pucat yang ia rindukan itu.

Namun Draco masih tetap tidak menyerah. Pemuda bersurai pirang platina itu masih terus mengetuk pintu kamar Harry. Dan sesekali memanggil pemuda bersurai hitam berantakan itu dengan lembut.

Merasa bahwa usaha Draco tidak akan berhenti hingga Harry membukakan pintu, Harry akhirnya memutuskan untuk bangkit dari kasurnya. Kedua kakinya mulai menapaki lantai yang terasa sedikit menusuk di pagi musim dingin. Begitu tiba di hadapan pintu kayu itu, ia meraih gagang pintu dan menarik pintunya.

"Apa?" tanya Harry begitu ia melihat wajah Draco. Wajah yang sangat ia rindukan, namun harus ia hindari.

"Kenapa?" tanya Draco balik. Kedua bola kelabunya menunjukkan kekhawatiran begitu melihat betapa berantakannya Harry.

The Day We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang