Tapi bagaimana jika berakhir buruk? Seperti yang terjadi saat kali terakhir kali ia menggunakan potensinya. Hidupnya kacau. Masa depannya juga hancur karena mengambil peran yang seharusnya dimainkan tokoh lain, yaitu sahabatnya.
"Masuk, Ma." Papa tirinya menggandeng paksa mamanya kemudian menggiring wanita itu masuk rumah.
Pintu ruang tamu sengaja dibanting. Seakan-akan ingin menegaskan bahwa sampai kapan pun, Inge tidak akan bisa diterima menjadi bagian keluarga itu lagi.
"Maa..." Inge memanggil lirih mamanya.
Air matanya menetes membasahi pipinya yang kemerahan. Ia tahu mamanya sebenarnya tidak bahagia. Meski hidup dalam kemewahan setelah menikah dan menjadi bagian dari keluarga papa tirinya yang tergolong sultan, namun Inge tahu mamanya berada dalam tekanan.
Papa tirinya terlalu otoriter. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Bahkan mamanya yang ingin merintis bisnis kuliner dengan berjualan kue, juga dilarang.
"Maafin Inge, Ma," kata gadis itu sembari berharap suatu saat dapat mengajak mamanya keluar dari rumah neraka itu.
Tapi untuk saat ini, Inge belum bisa menjamin jika mamanya akan lebih bahagia tinggal bersamanya. Jangankan menghidupi tiga manusia, ia bahkan terpaksa berpisah dengan putrinya karena belum melunasi biaya pengobatan putrinya di rumah sakit.
"Aku harus cari pinjaman ke mana lagi?" teriak Inge setengah frustasi.
Gadis itu berdiri di pinggir jalan setelah memutuskan pergi dari rumahnya. Tatapannya menerawang kosong ke depan. Ia tak tahu harus ke mana. Otaknya mendadak buntu.
"Nyong, tunggu mama ya, Nak..."
Oh, jangan salah sangka. Nama anaknya bukan Inyong, melainkan, 'anyeong'. Hanya saja karena sama-sama berakhiran 'nyong', kedengarannya seperti panggilan seseorang dalam Bahasa Ngapak.
Mengikuti ke arah mana pun angin membawanya, Inge melangkah tanpa tujuan. Sampai tak terasa ia memasuki area perkampungan yang sepi. Saking sepinya, Inge lebih sering bertemu pepohonan daripada penghuni perkampungannya.
"Gue emang bukan ibu yang baik buat Anyeong," gumam Inge sembari beristirahat di dekat jembatan. Di bawah jembatan itu terdapat sungai kecil yang biasa digunakan warga untuk mencuci pakaian. Dari jarak pandangnya sekarang, terlihat rel kereta yang memisahkan pemukiman warga dengan lahan pertanian berbagai macam tumbuhan. Sesekali Inge mendengar deru mesin kereta api melaju kencang disertai bunyi klakson panjang.
Tatapan gadis itu menerawang kosong. Tangannya menggenggam erat pembatas jembatan yang hanya berupa bambu panjang dan diikat bersama bambu lainnya.
Perlahan ia tertunduk, menatap arus kecil sungai di bawah.
Arus itu seperti memanggil-manggil. Memintanya bergabung dan menikmati riak-riak di sekelilingnya. Bukannya menyenangkan, jika hidup mengikuti arus dibanding harus melawan arus?
Sama halnya dengan apa yang menimpanya saat ini, mungkin memang sudah waktunya untuk menyerah. Kalau pun ia tidak kembali ke rumah sakit untuk menjemput bayinya, pasti nantinya akan ada ibu pengganti yang jauh lebih baik dibanding dirinya.
"Aku ibu pembawa sial. Aku anak durhaka. Aku sahabat yang berkhianat."
Saat mengatakan kata sahabat, Inge teringat bagaimana potensi yang ia miliki membuatnya menjadi gelap mata. Ia berhasil merebut kekasih sahabatnya dan menyingkirkan orang-orang yang melarangnya berhubungan dengan lelaki itu dan berhasil memiliki apa pun yang tak bisa ia miliki.
Selalu seperti itu.
Berulang-ulang.
Namun siapa sangka, kali ini takdir yang ia curi dari orang lain, malah membuat hidupnya berantakan.
BINABASA MO ANG
LOADING ERROR
RandomEros Perlambang Asmoro, sering dipanggil Cupid Millenial oleh teman-temannya. Sebutlah Mak Comblang versi kekinian. Tak terhitung berapa banyak pasang manusia yang akhirnya bisa berjodoh berkat perantara tangan dinginnya. . Malangnya, ia mengalami...
TARGET 5
Magsimula sa umpisa
