Sedikit lagi..

Hanya tinggal beberapa inchi telapak tangan keduanya bersentuhan.

Ada yang bersinar di antara telapak tangan kedua gadis itu saat jemari-jemarinya menyatu.

Garis-garis lurus yang memanjang, yang dikelilingi semburat garis-garis kecil bercabang.

Ya, garis tangan keduanya mengeluarkan sinar warna yang berbeda.

Dan hanya Inge yang dapat melihatnya.

"Inge, berhenti!"

Suara lantang dari arah pintu membuat perang dingin keduanya terjeda. Sosok wanita dengan rambut digulung yang di bagian depannya tampak memutih itu, menatap dingin ke arah Inge. Sebaliknya, saat beralih pada Dara, ekspresinya berbanding seratus delapan puluh derajat. 

Jadi yang anak kandungnya siapa? Apa mama udah lupain aku?

"Dara, kamu nggak papa? Masuk, Nak," perintah wanita itu sembari memeluk singkat Dara untuk memastikan gadis itu baik-baik saja. 

Dara tersenyum mengejek sebelum akhirnya menuruti perintah Mamanya.

Sementara di tempat semula, tubuh Inge membeku. Tatapannya kosong. Matanya berkaca-kaca, menatap sang mama dengan sorot sendu.

"Kamu sudah melihat saya. Sekarang tolong kamu bisa pergi dari sini," pesan wanita itu sembari sesekali menoleh ke dalam rumah. 

Hati gadis itu mencelos mendengar suara memohon mamanya. Tepat ketika Inge melangkah menjauhi teras rumahnya, suara mamanya kembali terdengar bersamaan dengan langkah kaki yang semakin mendekat.

"Ini buat kamu. Kemarin mama terima pesanmu. Kamu bilang belum bayar pengobatan anakmu, kan? Pake uang ini biar anakmu bisa pulang," kata mamanya cepat-cepat sembari memasukkan paksa beberapa lembar uang ke tangannya. 

"Ingat, sekarang kamu seorang ibu. Jangan bertindak egois dan ceroboh. Jika sampai terjadi sesuatu sama kamu, dia nggak punya siapa-siapa lagi, Nge," pesan wanita itu mencoba tetap tersenyum demi memberi sugesti positif pada putrinya. 

"Tapi, apa Mama nggak mau ketemu Anyeong? Mama, kan, neneknya." Inge berucap sembari memandangi mamanya dan putrinya secara bergantian.

"Mama tahu, tapi -"

Inge mendongak. Matanya yang teduh nan sayu bertemu dengan manik mata sesosok lelaki yang menatapnya tajam.

"Ma, aku pergi dulu." Inget cepat-cepat pamit lalu beranjak dari halaman rumahnya. 

Namun baru saja melangkah, seseorang mencengkeram lengannya. Ia terlambat. Papa tirinya kini berdiri di sampingnya, memandangnya penuh amarah. 

"Kembalikan," perintah suara berat itu. "Kamu nggak berhak menerima uang itu. Uang yang diberikan mamamu tadi, itu uang pemberian saya."

Tatapan gadis itu jatuh ke telapak tangannya yang terbuka. Beberapa lembar uang yang digulung sedemikian rupa, tampak kusut karena ia menggenggamnya terlalu erat. Seolah tak ingin kehilangan uang itu sepeser pun. Namun papa tirinya merampas seluruhnya tanpa belas kasih.

"Saya ambil," tegas suara berat papa tirinya. 

Tangan gadis itu terulur. Ia mencoba merebut kembali uangnya. Tapi papa tirinya lebih sigap berkelit, menghindar dari jangkaunnya. Inget tertunduk mengamati garis-garis tangannya. 

Apa aku harus menggunakan cara itu lagi?

Perlahan gadis itu melangkah maju. 

Sekali saja, ia ingin menggunakannya lagi.

LOADING ERRORWhere stories live. Discover now