Lima - Bagai Kena Buah Malaka

Mulai dari awal
                                    

"Kalau lo udah selesai ngomong, silakan keluar Bapak Baron. Lo bikin suasana nggak nyaman."

Baron masih memperhatikanku tajam, lalu dia keluar tanpa bicara apa-apa. Setelah konfrontasi itu, kakiku rasanya lemas. Aku duduk menghadap laptop tanpa berniat kerja dan memijat pelipis yang pening. Suara keripik dikunyah masih saja terdengar. Kuangkat wajah dan melihat ketiga anak magang itu sedang memperhatikanku.

"Kenapa kalian liatin saya?" tanyaku.

"Office drama, Man! Maksudku, biasanya aku cuma lihat di drama-drama, sekarang real. Oh my God! It's so exciting!" Ai berkata dengan raut berseri-seri.

"Kerja sana! Laporan proses project kalian saya tunggu sampai sore ini maksimal jam tiga. Nggak pakai nego!" semburku kesal karena gara-gara Baron aku jadi tontonan mereka.

"Dih! Dasar sipir!" sahut Mamet sambil mulai membuka laptop. Dia langsung menutup mulut saat melihatku melotot.

Harus kuakui, gosip dengan Baron ini memang sungguh mengganggu. Kupikir kalau didiamkan saja, gosip itu akan menghilang dengan sendirinya. Pikiran yang salah karena gosip itu justru menggila.

"Mungkin Kakak harus bikin semacam konfrensi pers?" usul DJ saat melihatku makin lama makin senewen.

"Emang saya artis? Udahlah kalian nggak usah mikirin. Urusin saja project kalian." Kulambaikan tangan dan DJ kembali ke pekerjaannya dengan tekun.

Sepanjang sisa hari itu ketiga anak magang tidak ada yang berulah. Mereka pasti tahu kalau suasana hatiku tidak baik. Biasanya aku bisa mencurahkan perasaan ke Ela, tapi sahabatku itu sedang tugas untuk audit cabang luar kota selama seminggu.

Ela sempat bilang padaku untuk mengabaikan gosip saja. Toh, orang-orang tidak akan percaya kalau aku dan Baron punya hubungan khusus. Kurasa Ela hanya menghiburku saja, karena saat itu dia percaya pada gosip yang beredar dan berteriak-teriak heboh menanyakan status pacaranku benar atau tidak.

Setelah makan siang, aku harus menghadiri rapat untuk pelaksanaan strategi. Aku sudah menyiapkan semua bahannya dan bersiap untuk keluar dari ruangan saat mendapati Mamet sedang berbisik-bisik pada Ai. Biasanya kalau sudah begini, mereka pasti mau berbuat yang aneh-aneh.

"Kalian ngapain?" tanyaku.

"Nggak, Kak. Cuma lagi ngomongin project," sahut Mamet cepat.

Mamet mengambil project tentang meningkatkan loyalitas pelanggan sementara Ai membuat aplikasi untuk website yang lebih user-friendly dan lengkap. Di sisi lain, project DJ adalah tentang loyalitas karyawan. Kalau ketiga project itu digabung, pasti hasilnya akan sangat baik.

Kuputuskan untuk tidak mengambil pusing dengan apa yang mereka bicarakan. Sudah cukup kejadian dengan Baron tadi membuatku senewen.

"Oke. Jangan lupa jam tiga nanti laporan kalian harus masuk. Jam tiga tepat!" Kulambaikan tangan lalu bergegas pergi. Terdengar keluhan dari ketiga anak itu selagi langkahku menjauh.

Sebenarnya aku yakin kalau laporan itu akan masuk dengan hasil sempurna. Kalau urusan otak, ketiga anak itu luar biasa. Kelakuan mereka saja yang juga luar biasa jahil dengan pola pikir aneh yang memunculkan ide ajaib.

Belum ada siapa-siapa di ruang rapat. Aku mengecek peralatan di sana dan baru duduk setelah memastikan semuanya siap. Baru saja kusandarkan punggung di kursi, Baron masuk. Tubuhku langsung mengejang, khawatir jika laki-laki itu masuk sendirian ke ruangan ini, akan timbul gosip baru. Hal yang paling tidak kuinginkan adalah gosip berduaan di ruang rapat dengan Baron.

Untunglah kekhawatiranku tidak terjadi. Di belakang Baron kulihat para peserta rapat masuk ke dalam ruangan. Lebih bagus lagi karena kami duduk berjauhan. Aku tidak mau mendapat gosip baru seperti pada rapat sebelumnya.

Rapat tidak berlangsung lama karena hampir semua pembahasan sudah dilakukan. Hanya laporan di sana-sini dan perbaikan rencana yang kucetuskan. Rapat selesai lebih cepat dari dugaan dan membuatku senang. Ini berarti aku masih punya waktu untuk memeriksa pekerjaan para anak magang.

Aku langsung keluar setelah rapat selesai, enggan bertemu dengan Baron. Melihatnya saja darahku langsung mendidih. Saat masuk ke dalam ruangan, aku mendapati DJ sedang memegang gelas-gelas kopi dengan logo merek cafe terkenal. Dia meletakkan satu gelas di mejaku dan tersenyum lebar.

"Mamet traktir kita, Kak," katanya sumringah.

Mamet hanya mengangguk-angguk dengan lagak bos besar. Aku tertawa dan mengucapkan terima kasih pada anak itu yang langsung berlagak seperti sultan.

"Tumben, Met. Kamu tahu saja saya baru mau beli kopi." Kuletakkan laptop di meja lalu duduk dan menyandarkan punggung. Memang kursi kerja sendiri lebih enak daripada kursi ruang rapat.

Seharusnya aku melihat bagaimana Mamet melirik DJ dan Ai. Seharusnya juga aku bisa melihat senyum dikulum mereka. Tetapi saat itu pikiranku sedang penuh dengan pekerjaan, hasil rapat dan gosip tentang Baron yang ternyata sulit menjauh dari ingatan.

Aku menghirup kopi dan langsung menyemburkan cairan tersebut saat merasakan ada yang aneh. Asin! Kujauhkan gelas kopi berwarna putih susu itu. Kupandangi gelas itu, tidak ada yang aneh dari gelasnya. Kubuka tutup gelas kopi dan mencium aromanya. Tidak ada yang aneh juga. Sekali lagi aku mencoba menghirup kopi dan langsung menyemburkannya kembali.

"Kenapa, Kak? Lagi main dukun-dukunan? Sembur-sembur kopi, gitu?" tanya Mamet dengan tatapan polos.

"Ini apa, Met?" Aku mengabaikan pertanyaan Mamet..

"Kopi, Kak. Emang Kakak nggak pernah minum kopi?" Raut wajahnya begitu polos.

"Tapi ini ... ini asin." Kukerjapkan mata, rasa asin itu sangat luar biasa. Seperti ada sekilo garam yang dituangkan ke dalam kopi. Aku masih berpikir kalau barista yang meracik kopi ini melakukan kesalahan ketika Ai tersedak lalu tertawa disusul dengan Mamet dan DJ.

"Prank! Kakak Sipir kena Prank!" seru mereka terbahak-bahak.

Sial!

***

Catatan peribahasa:

Bagai kena buah malaka =  sesuatu yang baik jika dicampur dengan yang buruk, maka kebaikan tersebut akan tercemar.

***

The Differences Between Us (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang