Tiga - Badai Pasti Berlalu?

Mulai dari awal
                                    

"Lo mau jualan, Ai?" tanya Mamet polos sambil melepaskan headset.

"Ini harta gue, Mipan," jawab Ai dengan ketus.

"Mipan? Mamet kali maksud lo. Masa ganteng-ganteng gini dibilang Mipan."

"Lo berisik kaya Mipan Zuzuzu."

Aku tertawa membayangkan Mamet berwajah Mipan. Sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan karena Mamet sepertinya tersinggung walaupun tidak mengucapkan apa-apa. Laki-laki itu menaruh tasnya begitu saja lalu membuka laptop.

Sementara itu, aku harus menyudahi tingkah Ai yang membawa segala macam barang kesayangannya. Aku berdehem lalu berdiri dan menginspeksi meja Ai serta menghitung jumlah barang yang ada di sana.

Ada 73 pernak-pernik Hello Kitty di sana termasuk headset, lampu belajar yang sebenarnya tidak diperlukan dan bolpoin dengan kepala Kitty mengangguk-angguk. Kepalaku langsung berpikir cepat.

"Ai, saya nggak ngelarang kamu bawa segerobak Hello Kitty, tapi perkirakan juga sama besarnya meja kerja kamu. Dari semua benda ini, kurangi 50%. Nanti kamu nggak bisa kerja."

Gadis di hadapanku cemberut sambil mengurangi sebagian besar pernak-perniknya. Dia memasukkan kembali sebagian Kitty ke dalam tas dengan hati-hati. Setelah itu dia membuka laptop yang di bagian depannya juga ditempeli stiker Hello Kitty super besar dan mulai bekerja.

Meskipun kalau bicara blak-blakan, Ai yang super pintar ini menguasai bidang IT dengan baik. Menurut Manajer HC yang memberikan informasi padaku, spesialis Ai adalah bahasa pemrograman. Itu sebabnya anak ini hobi membaca buku yang menurutku seperti bahasa planet Namec.

Benakku kembali dari masa lalu ke kenyataan saat ini ketika suara tawa terdengar lagi. Kulirik ambang pintu dimana dua laki-laki sedang berdiri. Satunya tentu saja Mamet yang bercerita tentang nama panggilanku. Laki-laki satu lagi adalah manusia yang menurutku paling menyebalkan di jagat dunia perkantoran ini. Baron Diraja, sang Strategic Officer.

"Jadi, panggilanmu sekarang Sipir, Cass?" tanya Baron dengan senyum lebar.

"Bukan urusanmu," jawabku pura-pura tenang sambil melihat laporan kegiatan yang sudah diberikan oleh tim. Padahal hatiku mulai mendidih mendengar pertanyaannya.

Belakangan ini Baron rajin sekali datang ke ruang kerja kami. Aku tidak tahu apakah karena dia benar-benar tertarik dengan segala macam project yang sedang dikerjakan para anak magang atau dia hanya ingin menggangguku.

Baron hanya tertawa mendengar jawabanku. Dia lalu masuk dan berdiri di belakang DJ yang sedang mengerjakan laporan project. Aku menghela napas ketika terdengar tanya jawab dari para anak magang dan Baron. Mereka mengobrol tentang berbagai macam hal terkait project.

"Sampai kapan lo mau gangguin mereka?" tanyaku ketika 15 menit kemudian percakapan mereka belum selesai.

"Gue nggak gangguin, Kok. Cuma mau nguji saja. Lo tahu, kan? Supaya nggak ada celah buat kegagalan." Mata laki-laki itu menyipit saat tersenyum.

"Oh, Thanks to you, Bapak Baron Diraja untuk segala perhatiannya. Tapi seinget gue, tanggung jawab itu masih ada di gue. Atau lo ada agenda tertentu untuk semua perhatian ini ke mereka?"

Aku tahu, terpancing emosi di tempat kerja itu sangat tidak profesional. Tetapi semua hal yang berhubungan dengan Baron selalu dapat memancing emosi di mana saja. Sayangnya, belakangan ini aku sering bertemu dengannya. Mungkin dia punya semacam peliharaan Doppelganger, kembaran asing yang sering diartikan secara mistis.

"Yeah, Sip- maksud gue, Cassie. Gue nggak ada agenda tertentu. Hanya tertarik pada project mereka. Sangat inovatif dan segar menurut gue." Baron menatapku dengan bola mata cokelat mudanya yang mengingatkanku pada cokelat harshey. Kesadaran itu membuatku memutuskan untuk mulai menyukai Cadburry mulai detik ini.

"Oke! Kalau gitu tanya jawab selesai. Gue mau ketenangan di sini," putusku cepat. Lebih baik laki-laki itu cepat keluar daripada emosiku meledak sekarang.

"Jangan galak-galak dong, Cass. Nanti lo beneran dipanggil Sipir, lho."

Sekarang Baron tertawa-tawa bersama dengan tiga anak magang itu. Mereka bahkan melakukan tos segala. Aku memejamkan mata, menarik napas dan berhitung sampai sepuluh. Sudah cukup dengan profesionalitas.

"Baron Diraja! Cukup!"

Baron menoleh ke arahku, menimbang-nimbang apakah suasana sekarang sudah menjadi serius. Dia tampak berpikir-pikir sebentar lalu mengangguk. Akhirnya! Dia akan pergi dari ruangan ini.

"Lo cantik deh, Cass, kalau lagi marah-marah," ucap laki-laki itu sambil melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tinggal. Tawa kecilnya terdengar seiring dengan langkah yang menjauh.

Aku menghela napas lega. Kehadiran Baron sangat menyesakkan bagiku. Dia terlampau ingin tahu dan pintar bicara. Berada dalam satu ruangan yang sama dengannya sangat menyebalkan. 

Sepeninggal Baron, ketiga anak magang itu terdiam. Ruangan sunyi karena saat ini hanya ada kami berempat. Ucapan Baron sepertinya membuat mereka tersadar akan sesuatu. Aku mengambil botol air mineral dan meminumnya saat menyadari suasana sunyi yang aneh. Aku sudah takut saja mereka menyadari aura persaingan kami sampai DJ mengeluarkan suara baritonnya yang datar.

"Jadi, sejak kapan kalian berpacaran?"

Aku langsung tersedak hebat.

***

Catatan peribahasa:

Badai pasti berlalu = segala penderitaan pasti ada akhirnya.

***

The Differences Between Us (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang