Ah ... kan aku hanya sebuah amanah, untuk apa dipikirkan.

"Papa," panggilku saat Papa masih berada di kamarku sambil melihat album foto masa kecilku.

Papa memandangku dengan senyuman tipis. "Iya?"

"Khair mau tidur di kamar Bang Shaka, ya," pintaku.

"Untuk apa minta izin? Tanpa izin pun Papa sama Abang pasti sudah mengizinkan. Sana," balas Papa.

Aku tersenyum senang saat Papa tidak menyinggung soal Laila yang datang dan aku yang kembali dengan sangat cepat. Begitu keluar kamar, aku langsung berlari ke kamar Bang Shaka yang tidak berada jauh dari kamarku.

Namun, keberadaan Adam di depan pintu kamar Bang Shaka membuat langkahku terhenti. "Minggir."

Adam hanya diam. Aku menatapnya dengan sorot mata yang penuh amarah. "Minggir!" ulangku.

"Kamu marah dengan jawabanku tadi?"

Aku mengalihkan pandanganku. "Jawaban yang mana? Anggap saja aku tidak mendengar apa pun. Karena aku tidak peduli apa pun yang kalian bicarakan. Jadi, minggir."

Kesal dengan Adam yang tidak juga berpindah tempat, aku langsung mendorongnya. "Jangan mengganggu si amanah ini bahkan jika dia tidak makan sampai besok."

Setelah mengatakan itu, aku menutup pintu kamar dengan sedikit keras. Air mataku jatuh begitu aku sampai di balkon. Dari dulu, aku iri dengan balkon ini. Karena tanpa memakai khimar pun, aku bisa berada di sini. Sebab, posisinya mengarah ke halaman belakang rumah yang hanya dikunjungi saat pagi dan sore hari.

Tidak aku sangka, perasaan ini akan menyakitiku bahkan sebelum aku menyatakannya. Aku pikir, saat tamat sekolah nanti, aku akan menyatakan perasaanku seperti Bunda Khadijah yang menyatakan perasaannya pada Rasulullah.

Hah ... aku membenci hal ini.

•••

"KHAIR! KHAIR!!"

Aku mengerang pelan saat suara terikan dari luar kamar begitu menggema. Padahal, kamar Bang Shaka lumayan kedap suara. Namun, tetap saja suara Mama bisa menembusnya. Heran.

Aku memakai khimarku dan berjalan pelan menuju pintu. Setelah membuka pintu, aku memandang Mama yang sudah meneteskan air matanya.

"Mama kenapa?" tanyaku bingung.

"Kamu kenapa, hah? Mama tahu kamu sedang masa tidak bisa salat, tapi kenapa sampai berjam-jam begini?"

Aku melihat jam tangan Mama. Ternyata sudah jam delapan malam. Pantas saja Mama heboh. Aku tersenyum tipis.

"Mungkin Khair kecapekan, Ma. Jangan khawatid banget gitu, ah."

Mama menarik telingaku sambil berujar, "Jangan khawatir kamu bilang? Mama mana yang gak khawatir kalau anaknya tidur lebih dari lima jam? Kamu mau ngerjain malaikat maut?"

"Ya Allah, enggak Mama. Khair juga gak tau kenapa bisa selama ini tidurnya."

"Ya udah, kita ke bawah dulu. Ada yang mau dibicarain sama kamu."

Aku mengernyit bingung. "Hah? Kenapa harus sama Khair?"

"Gak tau. Udah ikut aja," jawab Mama sambil terus menarik tanganku.

Mau tidak mau, aku terus melangkah mengikuti Mama yang berada di depanku. Tiba di ruang tamu, aku terkejut saat melihat Papa, Om Rafi, dan Adam yang sudah duduk di sofa.

Aku dan Mama duduk di sofa panjang. Karena sangat bingung, aku hanya bisa diam. Terutama saat Pak Rafi membacakan kalimat pembuka seperti awal rapat. Tak lama, ia menunjuk Adam.

"Ini anak saya Adam. Lengkapnya, Muhammad Adam."

Tak lama, Papa menunjukku. "Ini anak saya Khair. Lengkapnya Khairyah Hafisyah Asady."

"Umur Adam sudah genap delapan belas tahun, sudah memiliki kartu tanda penduduk, dan Insyaa Allah, sudah siap."

"Begitu juga dengan anak saya Khairyah."

Aku memegang tangan Papa. "Tunggu sebentar, Pa. Sebenarnya ini ada apa? Kenapa Khair sama dia diperkanalkan secara bergantian seperti ini?"

"Kamu akan tahu sebentar lagi, jadi bersabarlah. Ini sebuah kejutan."

Aku menggeleng kuat. Biar bagaimanapun, aku sepertinya tahu ini akan mengarah ke mana. Jadi, selagi bisa aku hentikan, maka akan aku hentikan. Sebab bagi orang itu, aku adalah sebuah amanah yang dititipkan. Tidak lebih dan tidak kurang.

"Papa, tolong jawab, ini ada apa?"

Papa menghela napas sambil tertawa pelam. Begitu juga Om Rafi. Sementara Mama hanya senyum-senyum menggoda.

"Papa sama Om Rafi ingin menikahkan kamu sama Adam. Karena kamu pernah bilang tidak suka ada acara resepsi, maka Papa sama Om Rafi sepakat untuk mengadakan acara akad saja. Sebentar lagi kalian selesai ujian, maka tidak akan ada masalah. Lalu, Adam juga sudah menerimanya dengan senang hati."

Aku tersenyum miris mendengar ucapan Papa yang mengatakan bahwa orang itu menerima dengan senang hati.

"Khair tidak mau. Assalamu'alaikum."

Aku tahu ini tidak sopan, tapi air mataku lagi-lagi menetes tanpa bisa aku kendalikan. Maka dari itu, aku memilih pergi dari sana. Lebih baik aku belajar di kamar dan mengunci pintu.

"Selamanya tidak akan ada kata kita di antara aku dengan orang itu. Karena perasaanku adalah cinta, sementara dia adalah amanah."

💚💚💚

Alohaaaa!
Kita ketemu lagi T_T
Kemarin gak update karena staminaku yang mulai menurun. Juga karena senggugut yang melanda sampai sekarang, wkwk.

Gimana sama part ini?
Semoga suka, ya.

Jangan lupa sholat!
Jangan lupa baca Al-Qur'an!
Jangan lupa Sholawat!

Sampai jumpa di next part!

Medan, 2 April 2021

Salam sayang

Fitri

Catatan Khairyah [ END ]Where stories live. Discover now