Prolog

2.1K 292 26
                                    

⚠️ Cerita ini mengandung unsur kriminal, pembunuhan, kekerasan, dan konflik dewasa. Pembaca diharapkan bijak dalam menyikapi setiap adegan. ⚠️


Happy reading!^^



~°~°~



Positif.


Aku menatap dua garis merah pada benda pipih di tanganku. Senyuman tipis langsung terukir di wajah. Jantungku berdebar karena kebahagian meletup-letup dalam dadaku.

Ahh ... Jeonghan pasti senang.

"Nak," ucapku sambil mengusap perut yang masih datar, "ayo buat kejutan untuk Ayah!"

Aku beranjak dari toilet, masuk ke dalam kamar dan menyembunyikan test pack di lemari pakaianku.

"Apa yang kau lakukan di sana?"

Aku berjengit ketika mendengar suara Jeonghan diikuti langkah kaki lambat menghampiri. Aku buru-buru menarik jaket dan menutup lemari. "Hanya mengambil ini," balasku sambil memakai jaket. "Aku mau belanja untuk memasak hari ini."

Mata cokelatnya tampak bergetar. Bibirnya mengercut. "Sayang sekali aku tidak bisa mengantarmu. Aku ada urusan mendadak. Niatnya mau pamit."

"Hey, ada apa dengan wajahmu?" tanyaku sambil terkekeh. Kuhampiri dirinya sambil tersenyum. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. "Biasanya juga aku belanja sendiri. Jangan khawatir, pergi saja. Akan kupastikan makanan lezat sudah tersedia di meja saat kau pulang."

"Aku bertanya-tanya siapa aku di kehidupan sebelumnya sampai-sampai diberkahi Tuhan dengan kekasih super pengertian, super manis, dan super hebat sepertimu," ucapnya sambil tersenyum lebar.

Aku terkekeh geli kemudian mengecup bibirnya. "Mungkin kau superhero. Sudah ya? Aku mau pergi sebelum hatiku meleleh."

Aku buru-buru pergi sebelum Jeonghan menahanku lebih lama. Kebiasaan, dia memang suka lupa waktu kalau sedang bersamaku meskipun sudah ada janji. Karena ini akan menjadi hari yang sangat spesial, aku menghabiskan cukup banyak uang untuk berbelanja. Tak sampai di sana, aku juga membeli kue kecil dan hiasan kue berbentuk bayi sebagai petunjuk kejutanku.

Biarlah, sekali-kali mengeluarkan banyak uang. Lagi pula momen ini tidak akan terjadi dua kali.


Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa waktu makan siang telah tiba dan seluruh masakanku tersaji di meja ruang televisi yang disulap menjadi tempat makan. Kutata makanan seindah mungkin. Kuselipkan test pack di dalam buket bunga yang sempat kubeli dalam perjalanan pulang. Sempurna!

Aku bergegas pergi ke halaman depan, duduk di kursi kayu untuk menunggu Jeonghan pulang. Ia bilang hanya sebentar dan akan pulang pada jam makan siang. Namun satu jam ... dua jam ... bahkan tiga jam sudah berlalu dan ia belum juga pulang.

Aku menatap langit yang mulai menguning, mengalihkan mata dari ponsel yang terus kutatap untuk memeriksa waktu dan ruang obrolan dengan Jeonghan. Kakiku sudah pegal, tidak bisa diam karena gelisah. Rasa lapar sudah sejak tadi menyerangku, namun aku tak sampai hati untuk makan lebih dulu. Bagaimana jika Jeonghan sedang kesulitan? Bagaimana jika Jeonghan sengaja tidak makan karena tahu aku sudah menyiapkan makanan di rumah?

"Ke mana sih?" gumamku khawatir.

Di sela penantian itu, tiba-tiba saja aku memikirkan toko roti yang sering kukunjungi dengan Jeonghan tiga halte dari rumah. Aku berusaha menyingkirkan pemikiran itu, namun aku malah terbayang roti cokelat kesukaanku di toko itu.

"Duh, kau pasti ingin sekali roti itu ya?" tanyaku sambil mengusap perut. "Haruskah kita pergi sambil menunggu Ayah pulang?"

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Aku hanya membawa dompet yang kutaruh di saku jaket dan ponsel di tangan. Dalam waktu lima belas menit mengendarai bus, aku tiba di toko roti. Aku sudah mengabari Jeonghan, jadi kurasa tidak perlu terburu-buru.

배신 (Baesin) [Seventeen Imagine Series]Where stories live. Discover now