"Cih," Lala tersenyum picik, "lo iri, ya, sama gue? Duit saku lo itu, mana cukup buat perawatan di klinik kecantikan? Jangankan ke klinik, beli skincare aja paling kagak mampu!"

Vanya, sahabat Lala, ikut mengompori, "eh, bukannya dia nggak pernah bawa duit, ya, ke sekolah? Dia, kan, harus bagi-bagi uang sakunya ke adek-adek pantinya."

Tatapan Adinda yang berkilat berubah sendu. Ia bisa bertahan mendengar hinaan apa pun. Tapi jika sudah menyangkut soal panti, gadis itu tak punya kendali melawan. 

Memang benar kenyataannya. Semua yang diucapkan Vanya dan Lala soal kehidupannya di panti, begitu adanya.

Jangankan membeli skincare, Adinda bahkan tak jarang menahan lapar ketika stok beras di panti menipis. Ia harus mengalah untuk anak-anak panti yang lebih muda.

"Lihat!"

Adinda kecolongan karena sempat kehilangan fokus. Lala terlanjur menumpahkan isi tasnya. Gadis itu juga mengacak barang-barangnya di lantai, mencari jepit rambut itu demi membuktikan jika Adinda bersalah.

Dan entah bagaimana bisa, tuduhan itu benar-benar terbukti.

Jepit rambut berwarna pink soft dengan pita renda putih dan hiasan mutiara itu terselip di antara tumpukan buku.

Melihat itu, sudut bibir Lala tertarik. Sepertinya ia sudah menduga sebelumnya. 

Atau memang sudah direncanakan?

"Udah ketebak. Lo nggak bisa mangkir lagi," tukas Lala memungut jepit rambutnya dan menyingkirkan benda-benda lainnya dengan ujung sepatunya. 

"Tapi gue nggak nyuri. Bahkan gue sama sekali nggak nyentuh jepit rambut norak lo itu," balas Adinda, tak terintimidasi.

"Mana ada pencuri ngaku?" Lala tak mau kalah.

"Bisa aja lo sendiri yang masukin jepit itu ke tas gue." Tebakan Adinda sepertinya benar karena Lala mengedip panik. "Lo cuma cari-cari alesan biar gue dapet hukuman, kan?"

Adinda bukan cuma menduga-duga. Ada suara yang memberitahunya. Suara yang tak bisa didengar telinga orang biasa. Ia tahu kebenarannya. Ia tahu bagaimana kronologi kejadiannya sampai jepit rambut itu ada di dalam tasnya. Tapi ia tidak memiliki bukti yang kuat untuk menunjukkannya pada orang-orang di sana.

"Eh, gila lo, ya. Ngapain gue masukin jepit rambut mahal gue ke tas lo yang buluk itu?" Lala mengangkat sebelah kakinya untuk menunjuk ransel Adinda yang masih tergeletak di lantai.

"Jepit gue ini kalo dituker sama tas kumel lo itu, masih dapet kembalian banyak," tukas Lala memamerkan jepit rambutnya. "Papa gue beliin jepit ini waktu dia dinas ke Singapore."

Adinda tersenyum sinis. "Bukan urusan gue. Sekarang, masukin barang-barang gue ke tas lagi."

Namun Lala merasa permainan akan lebih seru. Ia kembali memancing kemarahan Adinda.

"Ah, ah. Lo pasti nggak tau gimana bahagianya punya ortu yang perhatian karena selama ini, kan, cuma ibu panti yang perhatiin lo. Mana perhatiannya kebagi-bagi ke semua anak panti."

Adinda mengeratkan gigi-giginya. Rahangnya mengeras. Tanpa rasa takut ia menarik kencang rambut panjang Lala yang tergerai indah hingga membuat kepala gadis itu terdorong ke belakang.

"Aw!" Lala berusaha melepas cengkraman kuat Adinda di rambutnya. Tapi ia malah tersungkur ke lantai.

Vanya memanggil bala-balanya yang sejak tadi hanya menonton di depan pintu. "Gengsss bantuin, dong!"

"Hei, dasar Mak Lampir. Lepasinnn," rengek Lala kesakitan tapi masih bisa menghina.

Tarikan Adinda di rambut gadis itu semakin kuat. "Ya, gue emang Mak Lampir. Sekarang lo bisa liat gimana kalo Mak Lampir lagi ngamuk.!"

LOADING ERRORWhere stories live. Discover now