"Maaf, Ma'am. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu kaget." Chelsea meringis., Lizzie melambaikan tangan.

"Dimana Ben?" Chelsea menarik kursi tinggi dan duduk.

"Ben sedang mandi." Chelsea memberitahu Lizzie yang hanya mengangguk.

"Maafkan aku, Dear. Kau datang sebagai tunangan Ben tapi yang kau dapatkan hanyalah pertengkaran yang tiada akhir antara ayah dan anak." Chelsea tersenyum.

"Tidak apa-apa, Ma'am. Aku mengerti." Lizzie tersenyum lalu memandang Chelsea.

"Aku ingin memasak makan siang, apakah kau mempunyai makanan kesukaan?" Ia bertanya kepada Chelsea yang menggeleng.

"Tidak, Ma'am. Aku bukanlah orang yang pemilih."  Chelsea berdiri.

"Ada yang bisa aku bantu?" Chelsea menawarkan diri, Lizzie menggeleng.

"Tidak perlu, aku akan dibantu pelayan. Kau tenangkan saja Ben." Chelsea menggangguk lalu mengambil tasnya.

"Kalau begitu aku akan melihat Ben terlebih dahulu." Setelah mendapatkan anggukan, Chelsea berjalan menaiki tangga, ia membuka pintu kamar Ben dengan perlahan. Suara gemericik air sudah tidak terdengar dari kamar mandi.

Chelsea membuka sepatunya dan berjalan masuk, langkahnya terhenti ketika Ben tengah berbaring di tempat tidur dengan bathrobe yang masih pria itu kenakan. Dua kaki Ben terjulur ke lantai. Chelsea naik ke tempat tidur dengan perlahan agar tidak menganggu Ben tapi pria itu tetap menyadarinya dan langsung mengangkat tangannya yang ia gunakan untuk menutup matanya.

"Aku pikir kau tidur." Ia berbaring tengkurap disamping Ben, Ben menggeleng lalu mengulurkan tangan untuk mengelus rambut Chelsea.

"Kau tahu bukan, kau bisa menceritakannya semua padaku." sahut Chelsea kepada Ben.

"Aku tahu, tapi bahkan aku tidak tahu harus memulai darimana." Chelsea menarik tubuhnya dan meletakkan dagunya di dada Ben. Ia dapat mencium aroma sabun yang dipakai Ben ataupun cologne pria itu yang sudah familiar di indera penciuman Chelsea.

"Apakah kau tidak berniat berbaikan dengan ayahmu?" Ben menjatuhkan tangannya yang tengah memainkan rambut Chelsea sambil mendesah panjang.

"Dia yang selalu meletakkan rudal disampingnya setiap kami berbicara." Chelsea memainkan ujung kerah bathrobe Ben.

"Ben, dia ayahmu. Kalian berdua sama-sama keras kepala, jika tidak ada yang mau mengalah lalu sampai kapan?" Ben mengambil tangan Chelsea dan mencium jari-jarinya lembut.

"Sampai dia lelah." sungut Ben yang langsung mendapat pukulan di dadanya, Chelsea memandang pria itu dengan cemberut.

"Kau bisa menutup mulutmu jika dia mulai menancapkan cakarnya. Ben, kau tahu bukan. Orang yang menutup mulutnya bukan berarti dia akan kalah dan salah." Ben berpaling dan menatap Chelsea.

"Itu sangat susah dilakukan Chelsea." Chelsea mengangkat bahunya.

"Setidaknya kau bisa mencoba. Nana akan pulang besok, buatlah dia tenang selama kau berada di sini." Ben masih tidak menjawab, ia hanya mengerutkan kening.

"Ben!" Seru Chelsea karena pria itu masih saja diam.

"Baiklah." sahut Ben , Senyum Chelsea terbit seketika, ia maju dan mengecup pipi Ben.

"Terima kasih." sahutnya gembira karena pria itu menyetujui permintaannya.

"Aku hanya harus bertahan hingga kita kembali ke London besok lusa." Ben menarik napas panjang, sementara Chelsea menepuk dada Ben dengan lembut.

Never Will Be The SameWhere stories live. Discover now