“Mending Ayah batalin rencana itu sebelum aku bertindak.” gertak Jae.

“Apa yang mau kamu lakuin? Berani kamu ancam Ayah, iya?!” Jae mengedikkan bahunya pertanda ia tak peduli dan tak mau tahu apa yang terjadi kedepannya dengan perusahaan tersebut, bukannya Jae sombong, tapi perusahaan sekarang maju itu semua adalah campur tangan Jae. Jika tak ada Jae? Dia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya hancur akibat bangkrut.

“Aku cuma peringatkan saja, kalau Ayah tetap lanjut, okay enggak masalah. Tapi, Ayah harus ingat satu hal,” ujar Jae.

“Apa?” tanya Tuan Park.


Jae pun mencondongkan tubuhnya kearah sang Ayah agar dia bisa membisikkan kata yang dapat membuat pria tua itu membeku ditempat, jika bisa, sampai dia masuk rumah sakit untuk mendapat perawatan khusus akibat jantungnya yang lemah. Berdosa sekali Jae Park ini, ‘kan?


“Jangan sampai Ayah lupa kalau bentar lagi perusahaan Ayah bakal balik nama jadi JHP Label. Tahu siapa pemegangnya? Coba Ayah tanya sama Wonpil, dia tahu siapa pemimpinan Label itu nantinya.” bisik Jae.


Spontan kedua tangan Tuan Park mengepal kuat ingin menghabisi Jae detik ini juga, sedangkan Jae yang sudah sadar bahwa dia berhasil membuat Ayah-nya itu emosi merasa sangat puas, sudah saatnya dia pamit pulang dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda akibat keputusan yang tidak berfaedah itu.


“Andai tahu seperti ini, Ayah enggak akan pernah suruh kamu pegang Park Label!” geram Tuan Park.


Langkah Jae terhenti, tangannya yang hendak memutar knop pintu pun tertahan di udara saat mendengar ucapan sang Ayah barusan. Sedikit ngilu dan menyayat hati memang, namun Jae tidak akan pernah rapuh hanya dengan kata-kata seperti itu, tak mempan bagi seorang Jae Park.


“Wow, sepertinya Ayah salah kasih, ya? Tapi mau gimana lagi? Anak Ayah yang kedua malah sibuk habisin uang di club.” ejek Jae sebelum dia benar-benar meninggalkan ruangan ini, dan berakhir dia mendengar suara lemparan kaca dari Ayah-nya yang tengah mengamuk.


---



“Tumben pulang jam segini, kena angin apa?” Pertanyaan itu yang pertama kali Jae dapatkan ketika dia memutuskan untuk pulang ke apartement daripada harus kembali ke kantor dalam keadaan hati yang hancur. Dan ternyata, ada Divanka yang sudah pulang dari kegiatan kampusnya.



Karena Divanka tak kunjung mendapat jawaban, dia segera menyusul Jae yang duduk di sofa ruang tengah setelah dia menutup pintu rapat-rapat. Kedua matanya langsung menangkap penampilan Jae yang sedikit acak-acakan, apa mungkin suami-nya ini tengah pusing dilanda pekerjaan kantor?

Meskipun Jae itu sabar, tapi ada kalanya Divanka takut dengan prian yang berstatus sebagai suami-nya ini. Karena menurut Divanka, marahnya orang pendiam dan penyabar itu lebih menyeramkan dibanding preman jalanan yang suka memalak uang masyarakat lemah.


“Ada masalah di kantor?” tanya Divanka sembari duduk disamping Jae, ia menelisik wajah tirus nan tampan sang suami yang benar-benar terlihat lelah.

“Dikit.” jawab Jae.

“Ya udah, lo mau dibikinin kopi enggak? Biar lebih tenang,” tawar Divanka.

“Enggak usah.” balas Jae.


Bisakah sekarang Divanka menghantam kepala Jae menggunakan panci bekas memasak air panasnya barusan? Sumpah, Divanka sangat membenci jika dia mendapat jawaban setengah-setengah tanpa ada niat, tapi jika dirinya yang seperti itu tak ada masalah dan orang lain harus menerimanya.

Divanka menyilangkan kakinya, menumpukan kepalanya menggunakan tangan agar posisinya lebih nyaman dan santai. Sebenarnya dia juga sedikit pusing akibat tugas kuliah yang tak ada habisnya, namun dia tak ingin mengeluh dan membuat Jae tambah pusing, bisa-bisa pria itu berakhir memekik frustasi dibuatnya.



“Kalau lo capek tuh istirahat, jangan kerja mulu. Sekali-sekali lo cuti kek, ini lo malah kerja mulu, di rumah tetap kerja!” omel Divanka.


Berhubung tenaga Jae sudah terkuras habis saat di rumah kedua orangtuanya tadi meskipun hanya bermodalkan bisik-bisik, ia lelah dan akan pergi kedunia mimpi yang indah nan nyaman itu. Lebih baik dia tidur sekarang, daripada harus mendengar omelan Divanka.


“Gue berasa ngomong sama setan,” sindir Divanka.


Kedua mata yang awalnya sudah tertutup kembali terbuka karena mendengaran sindiran tersebut, Jae menatap datar kearah Divanka tanpa enggan menyahuti sang istri yang sudah kesal setengah mati.


“Apa lihat-lihat?!” geram Divanka.

“Galak banget.” gumam Jae.

“Baru tahu kalau gue galak?” tanya Divanka.

“Udah daridulu sih.” jawab Jae.


Setelahnya hening, tak ada lagi percakapan yang keluar dari mulut mereka masing-masing. Jae memejamkan mata, sedangkan Divanka sibuk memandangi Jae. Ya, begitulah kegabutan pasangan suami-istri ini saat layar TV tidak dalam keadaan menyala.


“Sebelum lo sampai, tadi gue di telfon sama Ayah.” ungkap Divanka.


Spontan Jae membuka kedua matanya dan terbelalak kaget mendengar ucapan Divanka, ia pun segera memperbaiki posisi duduknya agar dapat fokus dengan penjelasan Divanka. Padahal awalnya Divanka tak ingin menceritakan ini pada Jae, tapi berhubung Jae tak ada semangat hidup, sangat terpaksa Divanka akan membahasnya.


“Ayah aku?” tanya Jae, dan dibalas anggukan pelan oleh Divanka. “Dia kenapa telfon kamu?” sambung Jae.

“Dia nanyain kabar gue aja sih, basa-basi gitu dan dia langsung akhirin. Enggak ada yang spesifik,” jelas Divanka.


Dengan sangat terpaksa Divanka menyembunyikan sesuatu yang sepertinya tak perlu Jae tahu, ini menyangkut dirinya sendiri bukan Jae, jadi itu tidak penting jika dia menceritakan sepenuhnya dan lagi melihat keadaan Jae yang kelewat lelah membuat Divanka mengurungkan niatnya kembali untuk bercerita.


“Maaf, Jae.” gumam Divanka dalam hati.


***


Bersambung...

Gaje? Maafkan diriku gais, gak ada ide huhu..

Maaf jika ada salah kata atau cerita tydak menarik

Jadilah pembaca yang menghargai penulis dengan cara Vote+Komentarnya ditunggu

Terima kasih dan sampai jumpa 🙏❤️❤️


Park Jaehyung : Not Mine? (Jae DAY6) [Completed]Where stories live. Discover now