3 - Laut Tengah

34.2K 5.7K 221
                                    

"Aku tidak pernah bertemu manusia sekaku dia. Tetapi, bukankah ini lebih baik? Agar aku bisa konsentrasi berkuliah tanpa harus memikirkannya."

-Laut Tengah-


Saya terima nikah dan kawinnya Ayla Hagia Sophia binti Abdurrahman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!

Sebuah ucapan janji setia yang sangat diridhoi oleh Sang Maha Cinta telah terucap beberapa belas jam yang lalu. Haia telah resmi menjadi seorang istri dari seorang peneliti yang bekerja di Korea Selatan. Waktu seakan berputar cepat. Mulai dari Haia menghubungi Prof. Fatih menyetujui tawaran pernikahan lalu selang beberapa hari kemudian, seorang laki-laki datang ke rumah Haia untuk melamar dan mengurus berkas-berkas administrasi mulai dari pengadilan agama, KUA, hingga kedutaan besar. Haia hanya terima beres hingga hari sakral itu tiba, waktu di mana Haia mendengar ijab kabul dan kata 'sah' terucap.

Tidak ada seorang pun selain Prof. Fatih, Ustazah Maryam, Maya, dan Ryan yang mengetahui pernikahan Haia. Bahkan Rere dan Zava sekali pun. Status istri kedua sudah cukup membuat Haia merasa malu dan khawatir berlebih. Tidak bisa dipungkiri ada predikat-predikat buruk yang disematkan orang-orang pada status ini.

Maya dan Ryan menjadi dua manusia paling bahagia saat mendengar Haia akan pergi dari rumah mereka. Bukan tanpa alasan, tapi dua orang itu seperti mendapat rezeki nomplok karena uang mas kawin Haia dengan nominal puluhan juta sukses jatuh ke tangan mereka.

Sejak malam prosesi khitbah (lamaran) Haia tidak pernah nafsu makan. Hanya sakit kepala, lemas, dan debar jantung tak beraturan hingga wajahnya pucat yang dia rasakan. Sebuah bayangan rumah tangga mengerikan memang selalu berputar di otaknya. Dia benar-benar tidak tahu seperti apa nasib masa depannya. Haia sama sekali tidak mengenal laki-laki yang kini menjadi suaminya. Pun, wanita yang menjadi istri pertama dari laki-laki itu.

Ruang tunggu Bandara Internasional Soekarno-Hatta telah lengang. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Seluruh gerai-gerai makanan dan suvenir di bandara telah tutup. Hanya ada beberapa penumpang yang menunggu keberangkatan dan para awak kabin seperti pilot dan pramugari berlalu-lalang dengan seragam rapi dan koper ciri khas profesi mereka.

Sesekali Haia menguap dan membetulkan letak kerudung yang menurutnya mulai tak tentu arah. Gadis dengan crop sweater warna mint dan rok plisket itu mengedarkan pandang dan sesekali memainkan ponselnya mengusir rasa bosan. Sebenarnya dia tidak sendiri. Dia bersama seorang laki-laki yang duduk di seberangnya.

Siapa lagi kalau bukan Teuku Bhumi Syam.

Pria berusia 30 tahun yang sudah berstatus sebagai suaminya. Namun, alih-alih pengantin baru, mereka lebih cocok dikatakan sebagai paman dengan keponakannya. Haia dengan wajah polos tanpa make-up dan tas ransel putih tulang dengan gantungan kunci berbentuk beruang, sedangkan Bhumi, si pria berkulit putih bersih, berkacamata dengan netra cokelat tua, rambut hitam belah samping yang sedikit teracak, mengenakan kemeja putih dibalut jas biru dongker, wajah tanpa ekspresi, dan tinggi badan sekitar 180cm.

Bhumi yang dingin dan kaku cukup membuat Haia terkadang bergidik saat di dekatnya. Sejak hari pertama mereka berjumpa di rumah Maya, tidak ada satu kata pun terucap dari bibir Bhumi untuk Haia. Dari gelagatnya, Haia sudah tahu bahwa Bhumi terpaksa menjalankan pernikahan ini. Haia sempat bertanya-tanya pada Prof. Fatih dan Ustazah Maryam apakah Bhumi membencinya. Akan tetapi, mereka hanya berkata bahwa Bhumi memang sulit untuk langsung dekat dengan orang asing sejak kecil.

Haia mengerjapkan mata yang terasa panas bekas air mata perpisahan dengan Prof. Fatih dan Ustazah Maryam. Sebuah nasihat Haia dapatkan dari dua orang guru yang sangat berarti dalam hidupnya. Petuah itu kini kembali terngiang di telinganya.

LAUT TENGAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang