🛡️04🛡️

1.3K 145 2
                                    

Mata itu tidak pernah mau memandang dengan tatapan teduh
Rasa benci mengunci relung hati, bolehkah tak layangkan tatapan tajam nan menghakimi?
Kesalahan ini membelenggu mencekik diriku, tertambah dirimu yang ikut mengulurkan tangan
Jatuh terpinggir tak masuk hitungan, tidak bisakah sisihkan ruang walau sudut ujung tenggelam.

️🛡️🛡️🛡️🛡️

Agara melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Beberapa pengendara memaki dirinya, yang hampir saja bertabrakan dengan mereka. Dia baru saja mendapat panggilan, kalau adiknya atau lebih tepatnya saudari kembarnya, Anata berada di rumah sakit.

Sesampainya, Agara melangkahkan kakinya cepat menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar rawat sang adik. Saat akan membuka pintu, pintu di hadapannya sudah terbuka terlebih dahulu. Tampak sosok pria yang sudah berumur menatap tajam kearahnya. Agara menunduk takut, tak berani menatap mata sang ayah.

Agara tersentak tatkala tangan kekar sang ayah menarik lengannya kuat. Agara meringis, mengingat badannya masih terasa ngilu dan nyeri. Saat Agara mendongakkan kepalanya, menatap mata sang ayah. Tatapannya menyendu, rasa sesak mulai memenuhi relung hatinya. Mengapa hanya selalu mata benci itu yang menghujaninya?

Plak

Tangannya terulur perlahan menyentuh pipi yang terasa semakin sakit, lebam hitam di sana bertambah buruk lagi dengan luka di sudut bibirnya.

Kali ini apa lagi salahnya?

"Ada apa?"

Plak

Sakit ... Sangat sakit. Dirinya gigit bibir bawahnya dan sedikit mendongakkan kepala agar linangan air mata tak jatuh membasahi pipinya. Jantungnya berpacu kencang, pasokan udara pun kian menepis di sekelilingnya. Agata ingin gila rasanya.

"Masih bertanya?" Aditya menatap nyalang, lupa kalau yang di hadapannya masih penuh luka yang sehari saja belum usai.

"Dasar bodoh!" Aditya menjambak rambut Agara membuat putranya sontak membuka mulutnya kaget dan memejamkan mata. Agara tidak mampu lagi untuk bersuara menyerukan rasa sakitnya.

"Sudah kukatakan, jaga anak-anakku!"  Teriak Aditya di depan wajah pemuda yang masih bergelung dengan rasa sakitnya.

"Kau lihat, putriku berbaring disana. Ini salahmu! Karena dirimu Anata seperti ini!" ucap Aditya dengan nada tingginya.

"Agara gak tahu—" Belum selesai Agara berbicara, Aditya kembali menarik rambut Agara dengan kuat.

"Mau membela diri, ha?" Sekarang Agara hanya bisa pasrah, sudah biasa dirinya disalahkan tak peduli jika bukan dialah pelakunya. Bahkan dirinya tidak tahu bagaimana adiknya bisa sampai disini, disekolah juga mereka tak pernah tegur sapa.

"Kau kutugaskan untuk menjaga anak-anakku, bukan?"

"Anata terbaring di sini itu semua karnamu! Ini salahmu, bodoh!" Aditya mendorong kuat Agara, kepala Agara hampir saja terbentur tembok karena dorongan Aditya.

Sebenarnya apa yang Aditya katakan sedari tadi sama sekali tidak terdengar di telinganya, dengungan serta rasa pusing dan sakit membuatnya tidak mampu mencerna setiap perkataan Aditya yang terlontar padanya.

Ada seseorang berdiri di depan pintu, ia melipat kedua tangannya. Menatap malas pada pemandangan yang tertampil, tak ada niatan untuk membantu. Sorot matanya bagai mengatakan jika Agara memang pantas untuk mendapatkan apa yang Aditya perbuat padanya.

"Dengar, sekali lagi kau melanggar perintahku ... Kau benar-benar akan membayarnya," ancam Aditya berlalu pergi diikuti Araka tersenyum remeh pada Agara.

Scutum (Sedang Revisi)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora