PUH 08

1.8K 364 17
                                    

Maaf kalau banyak typo, minim edit

Heppi reading.

***

Bayangan anak kecil di kuncir dua sedang bermain boneka barbie di teras Ua Aminah, memenuhi benak Isti. Senyum malu-malunya saat ia dekati, menarik otot bibir Isti hingga membentuk sebuah senyum kecil. Isti berharap akan menemukan Putri di rumah seberang seperti beberapa waktu lalu.

Namun keluarga dari Jakarta sudah kembali ke kota tadi malam, dan Anisa yang memberitahu itu menambahkan kalau jika keluarga bibinya itu harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk melamar Isti dalam satu minggu, sesuai yang mereka janjikan.

Karena dugaan bu Fatma tidak meleset, begitu Isti menerima Hamish, maka rencana awalnya untuk melamar Isti secepat mungkin begitu keluarga bertemu, akan terjadi tak lama setelah kunjungan silaturahmi yang di sambut dengan hangat oleh keluarga Isti. Walaupun, jika boleh jujur, Isti sedikit tak yakin akan terjadi secepat itu.

Rasanya seperti mengulang sesuatu yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya. Berkenalan, silaturahmi, memberi janji akan melamar, namun yang ia dapati hanya harapan kosong yang membuat kedua orangtuanya kecewa.

Anisa memperhatikan Isti yang agak melamun saat mereka meninggalkan teras rumah, berjalan beriringan menuju tempat kerja masing-masing. Anisa seolah tahu apa yang ada dipikiran temannya ia berkata, "Insha Allah, keluarga bibi teh bisa dipercaya."

"Sanes kitu, Nis. (bukannya begitu, Nis)" Isti ingin mengatakan bahwa ia tidak berpikiran yang negative pada keluarga bibi Anisa. Tapi anggukan paham dari Anisa membuat Isti tersenyum tanpa perlu mengatakannya.

Anisa salah satu saksi kehidupan percintaannya yang tidak pernah berjalan mulus. Anisa tentu mengerti apa yang dikhawatirkan Isti.

"Pokokna mah percaya we sama si duren. (Pokoknya percaya aja sama si duren)"

"Duren?" Isti mengerut kening, tidak tahu siapa yang dibicarakan Anisa.

"Duda keren, si A Hamish." Jelasnya sembari memberi kerlingan menggoda.

Seperti ingat akan satu hal, dengan wajah ragu Isti berkata, "Oh nya Nis, Is teh bade naros.(Is mau nanya)" Isti dan Anisa sudah meninggalkan teras rumah,

"Naon?(apa). Siga sieun kitu? (kayak yang takut begitu)." Mata Anisa menyipit, seringai yang tidak Isti sukai kemudian muncul di bibir Anisa. Isti berhenti berjalan karena Anisa berhenti. "Rek nanya malem pertama lin? (Mau nanya mau pertama, yah)" katanya berbisik.

Mata Isti membelalak, dan Anisa layak mendapatkan pukulan di lengannya. Tapi ia puas melihat semburat merah di wajah Isti.

"Ari ibunya Putri teh, kamana?" ragu, tak yakin dan hati-hati ia menanyakannya. Isti penasaran betul bagaimana Hamish berpisah dengan ibu Putri. Dan bertanya pada Anisa, merupakan langkah tepat mengingat Anisa saudara dekatnya.

Anisa tersenyum, hal yang tidak Isti duga. Sementara ia yakin akan melihat Anisa menghela napas sebagai tanggapan atas pertanyaannya. Atau mungkin pertanyaannya bukan sesuatu yang sensitive untuk ditanyakan, seperti yang ia takutkan sebelumnya.

"Wajar penasaran ka calon mah, Is," kata Anisa yang sepenuhnya paham.

Mencari tahu masa lalu Hamish tidak salah. Sebagai wanita yang nantinya menjadi bagian hidup Hamish, Isti merasa penting sekali mengetahui bagaimana Hamish bisa menjadi duda. Bukan untuk menghakimi laki-laki itu, sudah jelas Isti bisa menerima status Hamish. Akan tetapi, rasa penerimaan itu ada seiring dengan sebuah alasan, seburuk apapun itu. dan Isti rasa tidak terlambat ingin mengetahuinya.

"Kamu teh pasti pengen tau pan kunaon -(kenapa)- mereka pisah?" tidak perlu jawaban dari Isti, karena Anisa langsung melanjutkan, "Ibunya Putri teh meninggal."

Permata Untuk HamishWhere stories live. Discover now