PUH 07

1.7K 389 12
                                    

Rasanya sekarang udah lama banget gak bilang makasih, yah. Berasa ada yang kurang aja gitu.

Nah, jadi saya mau bilang makasih banyak buat temen-temen semua yang selalu dukung cerita saya. Ngeramein komen, dan kasih vote. Mohon maaf kalau selama ini  masih banyak kekurangan, baik dalam penulisan cerita ataupun typo.

Mudah-mudahan cerita ini bisa sering update, dan tamat sebelum bulan puasa, aamin.

Oke deh, gituh aja asal agak lega. 

Heppi reading...


***

"Ua Minah manggil kamu teh aya naon, Is?"

Sejenak Isti diam, menatap ragu ibunya yang menyerbu pertanyaan begitu ia masuk ke dalam rumah. Kemudian ayahnya muncul dari arah dapur, melirik istri dan anak sulungnya dengan raut wajah penasaran namun lebih memilih untuk duduk terlebih dahulu di sofa ruangan itu bersama anak bungsunya yang menonton televisi.

"Aya urusan naon, Is? (ada urusan apa, Is)" tanya ibunya lagi tampak tidak sabar karena Isti tidak langsung menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Emangna kunaon, Mah (Emang kenapa, Mah)" kata Ayah Isti bernama pak Baharudin. Semua orang desa memanggilnya dengan nama pak Rudin. Salah satu orang terpandang setelah keluarga Ua Aminah. Laki-laki berusia lanjut yang mana sudah tumbuh uban, meski tidak lebat, menatap istrinya dengan kening berkerut.

Isti mengajak ibunya untuk duduk di sofa panjang yang sama dengan ayahnya. Karena lebih nyaman membicarakan sesuatu sambil duduk.

"As, punten pareuman heula tivi na. (As, maaf matiin dulu tivi nya)" pinta Isti pada adiknya yang berada di sana menonton televisi. Tanpa bicara Asti mematuhi sang kakak, dan raut wajah bertanya menghiasi Asti karena diam-diam ia pun ikut penasaran.

Isti tahu itu waktu yang pas untuk bercerita tentang niat keluarga adik Ua Aminah yang ingin melamarnya.

Pak Rudin tidak lagi bisa mempertahankan tampang biasa-biasa saja, kini beliau menaruh perhatian khusus pada Isti. ketiga orang di sana seperti sudah tahu ada hal penting yang akan Isti bicarakan pada mereka.

"Jadi, aya naon? (Jadi, ada apa)" tanya ibunya mendesak. Rasa penasaran menggedor dadanya. Meski sejujurnya bu Tuti sudah tahu kenapa anaknya tadi disuruh ke rumah tetangga sekaligus sodara jauhnya itu, namun tetap saja, bu Tuti ingin mendengarnya langsung agar ia tak salah sangka.

"Bu, pak." Isti mengawali setelah menarim napas cukup panjang. Ia tatap ibu dan ayahnya dengan sorot mantap, lalu kembali bicara, "Di rumah Ua teh ada keluarga dari Jakarta. (di rumah Ua ada keluarnya yang dari Jakarta)" kata Isti. "Kalau gak salah mah adik Ua yang namanya teh bu Fatma. Bu Fatma teh punya anak lalaki, namanya teh A Hamish." Isti sadar jika ucapannya terlalu banyak intro, karena kemudian ibunya mendesak dengan tidak sabar.

"Terus," Isti menatap ibunya.

"A Hamish teh lagi cari calon istri."

"Terus,"

"Ke atuh, Mah, sabar ngan terus-terus weh kos tukang parkir. (Bentar dong, Mah, sabar jangan teru-terus melulu kayak tukang parkir)" Isti tersenyum pada ayahnya yang menyela sang ibu.

Bu Tuti berdecak sebab pak Rudin yang memintanya sabar dan malah berkata, "terus," pada Isti.

"Kamu teh dijodohkeun? (Kamu dijodihin)" serobot bu Tuti sebelum Isti bicara lagi. Isti mengerjap, mengerutkan dahi memandang ibunya, lalu mengangguk.

Hening, Isti menatap ketiga orang yang juga menatapnya tanpa bicara. Namun ia melihat pancaran harap dari ketiga tatapan itu.

Suara bu Tuti mendahului pak Rudin yang tadinya akan bicara. "Teh Aminah teh pernah nyarios ka Mamah, (kak Aminah pernah ngomong ke Mamah)" kata bu Tuti. "Suarna bade ngenalin Isti jeung keponakan nana. (Katanya berniat ngenalin Isti sama keponakannya)" sorot bu Tuti berubah ragu kala beliau melanjutkan, "Eta teh beneran geus boga anak, Is? (Dia sungguh sudah punya anak, Is)"

Permata Untuk HamishWhere stories live. Discover now