U-bahn (Untergrundbahn)

2 1 0
                                    

          Di sebuah kampus bernama Heinrich Heine Universitätlah aku menjalani kursus intensif selama tiga minggu berturut-turut. Sebenarnya letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Frau Clemens, hanya saja butuh dua transportasi berbeda hingga sampai tujuan. Pertama dengan bus selama lima belas menit menuju Düsseldorf Hauptbahnhof atau Düsseldorf Central Station[9], lalu dilanjutkan oleh U-bahn (Untergrundbahn) selama dua puluh menit. Sebuah transportasi yang meski diartikan sebagai kereta bawah tanah, namun kenyataannya juga beroperasi di tengah kota. Setelah ditunjukkan oleh Tama di beberapa hari pertama, aku pun mulai terbiasa.

           Masih kuingat betapa kikuk dan senangnya aku menaiki transportasi yang mungkin untuk penduduk lokal biasa saja. Lain halnya bagi seseorang yang pertama kali melihat dan menginjakkan kaki di benua biru. Rasanya tak bisa kulukiskan. Semua hal terlihat begitu canggih, praktis, dan dinamis. Bayangkan, itu adalah pengalamanku empat belas tahun silam. Jadi tak heran bila negara-negara Eropa, terutama Jerman, hingga saat ini menjadi negara terdepan dalam bidang transportasi dan teknologi.

           Dalam perjalanan menuju kampus tiap harinya, aku pun selalalu senang memandang ke luar jendela dan memperhatikan. Berbagai jenis bunga seperti daisy, poppy, atau peony yang tumbuh subur sepanjang summer, serta deretan toko kelontong kecil yang menjajakan roti, sosis, keju, dan buah lokal. Banyak pula etnis bermacam rupa memenuhi jalan, berjalan begitu cepat seolah dikejar waktu. Ternyata benar apa yang dikatakan Herr Jaiser, dosen bahasa Jermanku di kampus dulu, bahwa di dalam kamus masyarakat Jerman tak pernah ada kata terlambat. Terlepas dari sejarah panjang Jerman akan diskriminasi, mereka pun kini hidup berdampingan. Meski perbedaan akan selalu ada, terutama yang datang dari generasi tua.

           Perjalanan selama tiga puluh lima menit dengan bus dan U-bahn itu aku nikmati betul tiap detiknya. Kuamati cermat tiap detailnya, karena belum tentu akan terulang lagi. Tak hanya keluar jendela, kadang aku pun suka memperhatikan berbagai macam para penumpang. Rata-rata hampir tak ada yang berbicara. Mereka lebih senang menghabiskan waktu sendiri dengan membaca. Sikap individualis yang berbading terbalik dengan masyarakat Indonesia. Dibesarkan dengan ramah-tamah adat maupun budaya. Saling bertegur sapa, meski belum pernah berjumpa dan di saat-saat seperti itulah, aku rindu akan rumah.

***


[9] Stasiun kereta utama di Düsseldorf

DüsseldorfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang