"Fa, gue mau putus." Ucapnya sambil menatap dalam manik mata cowok di hadapannya. Sedikit tremor mengingat Rafa akan selalu kasar apabila perlakuan Nara tak sesuai keinginannya. Pernyataan tersebut sukses melunturkan senyum manis di bibir Rafa. Cowok itu makin menggenggam erat tangan lembut milik gadis yang lima tahun terakhir menjadi semangatnya. Tapi, Kinara justru perlahan melepas tautan jemari itu.
Kata-kata Kinara barusan sangat tidak sesuai dengan suasana romantis yang sudah susah dibuat oleh Rafa. Ruang privat di sebuah restoran mewah untuk berdua, alunan musik klasik, lilin aroma terapi yang menenangkan, bunga mawar putih yang sengaja diletakkan di pojok ruang sebagai simbol kesucian--sangat bertolak belakang dengan hal-hal menyedihkan, harusnya ini jadi yang paling romantis.
"Aku nggak salah denger kan, By?" Akhirnya cowok itu buka suara. "Lima tahun lo kita..." tambahnya dengan ekspresi sungguh tak berdaya, seperti sedang kehilangan semangat hidup. Kinara hanya diam, menatap kosong ke arah cowok yang amat di cintainya terlihat lemah.
"Kamu lagi prank kan?" Seulas senyum yang sedikit dipaksakan kembali terbit, meski dalam hati ia tak yakin dugaannya benar. Sungguh, Nara takut kejadian tak diinginkan terjadi setelah ini.
"Iya, nih! Kamu pasti lagi prank buat surpriseaniversarykita kan?" Kinara hanya diam, tak mampu menjawabnya, ia juga tak mungkin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya.
"Coba, kameranya di mana. Aku mau tahu." Katanya lagi, semakin membuat hati Kirana berantakan. Gadis itu hanya menjawab dengan gelengan kepala sambil menunduk menyembunyikan air mata. Tangannya bergerak cepat mengusap air mata itu agar tak jatuh, ia tidak boleh menangis. Kalaupun menangis di rumah saja, jangan sampai Rafa tau. Rafa tak suka melihat Nara menangis di depannya. Menangis hanya berlaku bagi orang lemah menurut Rafa.
"Enggak Fa, aku enggak lagi prank atau lagi nyiapin surprise buat kamu. Aku cuma ngungkapin apa yang aku mau."
"Kenapa kamu mau putus?" Tanya Rafa cepat, menahan sesak di dadanya. Gadis itu terdiam, menggigit bibir bawahnya. Padahal Rafa merasa semua berjalan baik-baik saja, tidak ada yang salah, bahkan ini adalah hari bahagia karena mereka merayakan anniversary. Dan selama ini Rafa tidak sadar atas semua tindakan kasar yang menyakiti Nara. Hubungan mereka harus segera diakhiri.
"Yaudah kalau nggak mau jawab, aku nggak maksa." Timpalnya dengan nada datar menguapkan kekecewaan di hatinya. Bohong, padahal ia sangat ingin tau apa alasannya. Baru kali ini hatinya merasa hampa.
"Sekarang giliran kamu make a wish kan," ucap Kinara tiba-tiba. Entah, ia sedang bingung harus bagaimana lagi. Ia mengalihkan pembicaraan supaya Rafa tak meledak. Ia juga sangat lega sudah mengatakannya, dan respon Rafa sungguh tak semenakutkan bayangannya.
"Oke." Ia balas sambil mengangguk.
Mereka sudah tak lagi saling menggenggam. Mendekap tangan milik masing-masing. Cowok itu balik menatap ke arah Kinara yang terlihat tersenyum kepadanya. Apa itu, Rafa mengenali senyum kekecewaan. Pasti ada yang tidak beres dengan Nara, tapi apa?
Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari tau dan akan membantu menyelesaikan masalah yang Nara sembunyikan darinya. Tapi, untuk sementara ini ia menuruti keinginan gadisnya saja. Padahal hal itu hanya akan menyulitkan Nara. Rafa tak pernah sadar akan hal itu.
"Rafa pengen lihat Kinara selalu bahagia makanya Dafa menuruti keinginan Kirana untuk putus. Tapi, untuk perayaan kali ini Dafa ingin kita merayakan dengan bahagia seperti biasannya. Bisa kan?" Katanya dengan senyum yang dipaksa, Kinara yang ditatap begitu jadi ikut tersenyum takut.
Gadis berambut sebahu itu hanya mengangguk dengan topeng senyuman yang palsu, menutupi semua rasa ragu dan penyesalan di bola matanya yang indah. Sungguh, Rafa belum rela melepaskan Nara. Tapi apa boleh buat, jika itu memang kemauan Kinara, Rafa tidak bisa memaksa, ia sangat tak berdaya malam ini.
"Gausah hubungin Nara lagi ya." Ia sendiri tak menyangka akan bicara seberani itu.
"Masalah itu, gue pikirin dulu Ra," ungkap Rafa sejujurnya, ia sendiri tak mampu membayangkan hidupnya tanpa kehadiran Kinara. Pemikiran orang normal dan berbalik dengan pemikiran si Rafa yang sangat bucin dengan gadisnya. Wajar, lima tahun itu bukanlah waktu yang sebentar.
"Makasih banyak buat semuanya, termasuk lima tahun sama kamu berharga banget buat aku." Ucap Kinara setelah melepas helm yang ia pakai, seperti kencan-kencan sebelumnya, Rafa selalu mengantar Kinara pulang ke rumahnya dan berlaku sampai sekarang setelah putus. Rafa itu sangat posesif.
"Sama-sama" ucapnya sambil mengacak surai hitam lurus sebahu yang sudah menjadi candu bagi Dafa. Selalu menggemaskan, meskipun sudah menjadi mantan sejak beberapa jam lalu. Bukankah kelak ia akan merindukannya? Meskipun tak satupun foto di galerinya terhapus, Kinara secara nyata akan selalu ia rindukan.
"Udah, masuk sana." Usirnya, lalu gadis manis itu menurut dan segera masuk ke dalam
"Iya, bye!" Lambaian tangan lewat jendela menjadi penutup kisah malam ini. Meski kisahnya tak sesuai ekspektasi Rafa, ya sudahlah. Mungkin ini takdir terbaik menurut Tuhan untuk Rafa dan Kinara. Yang terpenting ia masih bisa berteman dan tidak berhenti berkomunikasi dengan gadis manis itu. Benarkah? Apa masih bisa tetap menjadi teman setelah putus? Sebaiknya tidak, hal itu akan sangat buruk untuk Nara.
Sesampainya di rumah masih sama seperti biasa ia akan mengabari Kinara. Walaupun bukan pacar, memberi kabar tetap menjadi hal yang normal kan? Anggap saja iya.