Setengah Hari

76 18 0
                                    

Chenle duduk di samping Yangyang yang tengah rebahan di lantai depan TV. Pecinya yang miring membuat Chenle berkali-kali membenarkan letak peci tersebut. Semakin lama semakin menganggu hingga akhirnya ia lempar peci itu ke sembarang arah.

Tangan mungilnya bergerak memainkan rambut kakaknya. Sesekali ia melongok wajah Yangyang yang tampak pucat.

"Mas Ayang ndak apa?"

"Ndak... apa-apa."

Bocah berumur 3 tahun itu kini memegang dahi sang kakak. Tidak panas. Kemudian beralih ke hidung. Masih napas. Lalu ia tempelkan telinga ke perut.

Kukuruyuk.

Tanpa sepatah kata, Chenle bangkit kemudian berjalan ke kamar sang ayah yang tengah bersiap-siap ke musholla.

"Ayah."

"Iya, Lele laper?"

"Mas Ayang."

"Mas kenapa?"

"Mas Ayang pelutnya bunyi kukuluyuk. Telus lemes banget. Cekalang lagi bobo di cana," Chenle menyeret tangan Kun, "ayo ke cana, Mas Ayang kacihan."

Kembalinya mereka ke ruang keluarga, Kun menutup mulut menahan tawa.

"Kalo laper Ayah masakin sekarang, masih ada waktu nih sebelum adzan Dzuhur."

Yangyang menggeleng lemah, "Ndak, Yah. Ayang... kuat."

"Puasa setengah hari juga nggak apa-apa, Mas. Kan masih latihan."

"Mau ngalahin Ecan. Ecan kemalin katanya puasa. Tapi cuma setengah hali. Hali ini Ayang mau puasa sehali penuh."

"Beneran kuat ke mushola?"

Yangyang mencoba bangkit. Ia terduduk sambil memakai kembali pecinya. Ketika berdiri, ia terhuyung dan hampir menabrak sofa.

Kun mulai khawatir, "Serius? Ayah masakin telor dadar sekarang ya? Apa mie goreng?"

Gluk.

Mie goreng.

Wah pasti enak rasanya di makan sambil minum es jeruk. Bayangan itu susah payah dihilangkan Yangyang dengan menggelengkan kepala kuat-kuat. Membuatnya terjatuh ke lantai karena pusing.

"Ayah masakin sekarang!"

"Ndak usah, Yah. Ayang kuat!"

Dengan raut muka was-was, Kun menatap Yangyang yang berjalan ke luar rumah sambil sesekali menabrak tembok. Chenle cengo. Matanya menatap sang kakak dan sang ayah bergantian.

Sambil menggandeng tangan Chenle, Kun menyusul Yangyang ke depan.

Yangyang selesai wudhu, ia pakai pecinya lagi kemudian menatap sang ayah dengan wajah lebih segar dari pada sebelumnya.

"Ayah, Adek, ayo ke mushola."

Yangyang berjalan lebih dulu. Sambil mengunci pintu, Kun bertanya-tanya mengapa anak sulungnya itu tampak lebih hidup setelah wudhu.

Ia menatap kran air lamat-lamat. Tidak mungkin apa yang ia pikirkan benar-benar terjadi.

Sementara itu, Yangyang berjalan sambil mengelus lehernya. "Ah, segel."

=======

Sholat Dzuhur sudah selesai. Para kaum Adam berbondong-bondong keluar dari mushola. Rasanya ingin cepat-cepat ngadem di rumah karena pendingin di mushola sedang rusak.

"Huah panasnya!" Hao memakai sarungnya sebagai kipas. Angin sepoi-sepoi dari gerakan sarung itu membuat wajah Hao tampak lebih damai.

"Habis ini Ayah mau ke sawah lagi. Kamu ikut ndak?" Tanya Jun.

[3] Ramadhan'21 : Kampung Duren [✓]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora