Sama seperti Gandhi, Grahita juga duduk dengan diapit oleh Marcella dan Sadewa. Walaupun sudah berpisah, namun status mereka tetap sama, yaitu sebagai orang tua Grahita.

Marcella tersenyum dan mengangguk sopan pada calon besannya itu. Baru pertama kali mereka bertemu di acara sakral ini.

Sementara itu, Sadewa merasakan hal yang campur aduk. Antara percaya tak percaya, anak gadisnya yang ia--, ah sudahlah, jika menyebutkan hal itu akan menambah rasa bersalahnya lagi yang tak pernah berujung. Sadewa tak percaya bahwa Grahita sudah sebesar ini dan hendak menikah dengan pria yang dicintainya. Pria yang mampu membuat dirinya yakin jika Grahita akan bahagia nantinya.

Saat melihat Marcella, Sadewa kembali mengingat kelakuan bejat pada perempuan cantik itu. Marcella masih terlihat cantik, bahkan diusia yang tak muda lagi. Selain itu, Marcella tampak bahagia dengan kehidupannya sekarang. Begitu yang Sadewa tangkap ketika melihat Marcella yang tertawa bersama dengan suaminya tanpa beban dan lepas begitu saja.

Ada sedikit rasa nyeri melihat itu semua. Kalau waktu boleh diputar, Sadewa tak akan pernah mau melakukan itu semua. Namun nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi dan tak ada untungnya meratapi masa lalu yang menyedihkan itu.

Rangkaian acara terus berjalan. Kini tiba saatnya Gandhi berbicara di depan banyak orang. Dengan yakinnya, laki-laki itu meminta izin untuk mempersunting Grahita menjadi istrinya.

"Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya. Hari ini adalah hari yang bahagia, terutama untuk saya. Karena hari ini saya bisa melihat masa depan saya yang berada tepat di depan saya. Banyak doa yang telah saya panjatkan kepada Tuhan. Dan kini tibalah saatnya saya mengutarakan niat untuk mengajak beribadah bersama selama seumur hidup dalam lingkup rumah tangga yang sakinah mawwadah warrahmah,"

"Grahita Sembrani Pramonoadmodjo, dengan ini saya Gandhi Bahuwirya Hadinata mempersunting kamu di depan keluarga besar kita. Apakah kamu menerima lamaranku ini?"

Suara sorak keluarga yang hadir membuat Grahita tersenyum malu. Gadis itu menunduk sebentar, lalu mengangkat wajahnya. Ekor matanya melihat kehebohan Lili dan Yessy yang memintanya untuk segera menjawab.

Semua orang tampak menunggu Grahita berbicara, begitu juga Gandhi yang tampak serius menatap Grahita.

Dengan menarik napasnya panjang, Grahita mulai berbicara. "Bismillahirrahmanirrahim, saya Grahita Sembrani Pramonoadmodjo, menerima pinangan dari Gandhi Bahuwirya Hadinata."

Ucapan Grahita barusan membuat mereka semua bertepuk tangan dan mengucap syukur. Satu rangkaian acara sudah terlalui, kini ganti dengan acara penyematan cincin. Mereka semua tampak berdiri.

Umi tersenyum dan berjalan menuju ke arah Grahita. Umi lalu mengambil tangan kiri Grahita dan memasangkan cincin itu jari manis gadis itu. Wanita itu tersenyum melihat cincin yang melingkar manis di jari manis sang calon menantu.

"Cantik," ujar umi dengan mengelus pelan jari Grahita yang tersemat cincin indah itu. Kemudian umi bergerak memeluk Grahita dan mencium kedua pipi sang calon menantu. Setelah itu, Grahita langsung mencium punggung tangan kanan umi dengan takzim.

"Terima kasih, Umi," bisik Grahita. Umi tersenyum dan mengangguk.

Selanjutnya adalah sesi foto bersama. Pertama-tama, Grahita diambil gambar seorang diri dengan beberapa gaya. Lalu bersama Gandhi.

"Jangan deket-deket, Mas. Bukan mahram." Bukan Asma, tetapi Ghania yang tersenyum jahil bersama dengan Asma yang mendukung aksi jahil kakaknya itu. Watak kedua adik Gandhi memang sebelas duabelas untuk urusan jahil dan julid.

"Alhamdulillah, one step closer Sis menuju halal. Semangat pengajuan dan semangat berpusing ria," ujar Lili dengan cengirannya. Grahita hanya memberikan tatapan malas.

Aksara Dan SuaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang