4; gedung lentera

54 11 104
                                    

***

Lembar keempat; cahaya lentera yang sudah bukan miliknya

Ditempat ini, aku bisa merasakan semuanya. Segala kenangan berlalu-lalang dengan cepat pada garis mataku. Nampak terasa. Namun kenyataannya sudah tidak bisa dirasakan lagi. Diatas gedung pencakar langit aku berdiri diperbatasan antara gedung ini dan jalanan dibawah sana.

Mungkin memang gedung ini tidak begitu tinggi. Tapi jangan salah, angin diatas tempat kuberpijak berhembus kencang. Menerbangkan apapun yang mudah ia terbangkan. Gemuruh ria sore ini tak kuhiraukan lagi. 

Gerimis memang masih mengguyur, namun tidak apa. Aku membiarkan hujan itu turun. Membasahi tiap inci permukaan bajuku. Air nya menetes disembarang tempat, dan aku menerimanya dengan lapang dada.

Gedung ini, Gedung Lentera namanya.

Memang nama ini tanpa sebab Arungga yang memberikannya. Kata dia, Lentera itu berarti sebuah titik pusat yang bercahaya ditengah lingkungan sekitarnya muram. Atau singkatnya, Arungga menamai gedung ini Gedung Lentera karena disinilah tempatnya untuk bersinar. Mencoba menerangi dirinya sendiri disaat disekitarnya nampak tidak pernah bersahabat.

Aku kira, ini gedung yang cantik. Tapi nyatanya ini hanyalah gedung bekas yang tak terlalu tinggi. Hanya ada lima lantai. Tangganya pun masih berupa tangga kayu biasa yang dirangkai sedemikian rupa.

Gedung yang kupijaki saat ini adalah saksi bisu atas segala perjuangan Arungga. Saksi akan segalanya walau tak lama. Saksi ketika Arungga yang putus asa, saksi ketika Arungga melukis, dan segala pertemuan kami yang juga hanya sebentar. Dan tidak abadi.

Gedung Lentera memang bukan merupakan museum kenangan, tapi, gedung ini sudah bisa disebut sebagai kenangan tanpa harus ada sebuah kenangan didalamnya. Karena secercah kenangan memang akan terbentuk jika ada suatu peristiwa, namun kenyataannya lagi, gedung ini tidak perlu mempunyai banyak kenangan untuk dikenang.

Memang sulit sekali melepas kepergian seseorang. Setiap saat setiap waktu ada saja rasa rindu dalam gejolak hatiku. Disetiap pergerakan waktu aku menangis, disetiap mentari terkubur, aku masih menangis. Hanya karena keterlambatan dalam bertindak, aku menyesal seumur hidup.

Tidak ada habisnya memang jika setiap saat aku membahas tentang Langga Arundaya. Dia pemuda baik hati yang mampu membuatku merasa kehilangan yang teramat dalam. Mungkin, aku dan dirinya memang bukanlah kedua sejoli yang sedang beradu akting di film romansa, namun aku dan Arungga tidak sedang beradu. Satu demi satu hal dari kami berdua, pasti akan hilang dimakan waktu. 

Dari sudut ini, aku bisa berimajinasi. Aku berimajinasi kala Arungga melukis diatas gedung ini, kala ia mencoret-coret dinding yang tersusun sebagai komposisi utama bangunan yang kupijaki, dan berbagai hal menarik yang ia lakukan, membuatku semakin gila akan kerinduan.

Ponselku berdering disetiap saat. Aku tidak mengangkat panggilan atau balasan dari orang yang menghubungiku. Karena, setiap kali aku tidak ada dirumah, opsinya hanya dua, ketempat ini, dan ke kampusku. Jadi dia--atau, siapa saja yang bukan merupakan orang asing bagiku, bisa tahu jika aku ada disini tanpa perlu dicari sekalipun.

Setelah beberapa saat berdering, panggilan dan pesan masuk itu sudah tidak kudengar lagi. Sengaja memang, aku membedakan dering panggilannya dari jenis nada dering panggilan orang lain. Agar aku bisa tahu, bahwa dia yang menelfon tanpa harus melihat namannya yang semakin membuat otakku pening.

Aku masih termenung. Menatap jauh kearah didepanku. Banyak kendaraan berlalu-lalang. Dan lama kelamaan, aku bisa menyaksikan bagaimana satu-persatu lampu di jalanan menyala. Arungga dahulu mempunyai filosofi sendiri tentang lampu yang menyala dimalam hari seperti sekarang. Mungkin ulasan filosofinya seperti ini, 

february ; liu yangyang ✓Onde histórias criam vida. Descubra agora