19 : Pelarian

251 50 10
                                    

Sudah lima hari berlalu ia berdiam diri di Masjid Katedral Moskwa. Siang malam ia mematri diri, larut dalam munajat dan taqarrub (mendekatkan diri) pada Ilahi. Ia iktikaf (berdiam diri di masjid disertai niat) di lantai dasar masjid dan memilih tempat dekat tiang yang membuatnya aman serta nyaman untuk tinggal siang-malam di dalam masjid yang letaknya tidak jauh dari apartemennya. Ia memilih masjid itu karena ia merasa yakin tidak ada banyak orang yang tau jika dirinya ada di masjid terbesar pertama yang di kota Moskwa.

Semua terjadi begitu saja. Iktikaf yang Vito lakukan saat ini sebagai bentuk penyesalan atas keputusan yang ia ambil untuk tetap tinggal di apartemen dan memberikan tenggat waktu selama 17 hari kepada Chika. Jika dalam rentang waktu itu Chika terbukti hamil, ia berjanji akan bertanggung jawab dengan menikahi perempuan asing itu. Sebuah keputusan bodoh yang pernah ia ambil dalam hidupnya untuk kali kedua.

Vito duduk bersila menghadap kiblat. Matanya terpejam sementara mulutnya terus menggumamkan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang berhasil ia hafal. Ia hanya menghentikan bacaannya saat adzan dan iqomat dikumandangkan, termasuk ketika shalat didirikan. Ia telah bertekad tidak akan kembali ke apartemen setelah waktu yang ia janjikan kepada Chika itu berakhir.

Usai shalat berjamaah, Vito akan larut dalam dzikir, shalat sunnah, lalu kembali melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan suara lirih. Meski belum hafal secara penuh sebanyak 30 juz, ia terus mengulang semua ayat yang berhasil terekam dalam otaknya. Mukanya tampak sedikit pucat menyiratkan kesedihan. Pipinya semakin tirus. Air matanya terus bercucuran seiring kalam-kalam Tuhan itu ia gumamkan.

Tubuh Vito seperti melekat lengket dengan lantai masjid. Ia meninggalkan masjid hanya untuk urusan lazimnya sebagai manusia yaitu makan, minum, buang hajat dan bersuci. Selain semua urusan itu, setiap menit dan detiknya ia habiskan di dalam masjid dengan khusyuk menikmati hidangan langit—ayat-ayat suci Al-Qur'an.

***

Angin musim dingin yang berembus dari utara semilir sejuk menyapu kota Moskwa. Angin itu membawa kesejukan bagi setiap manusia yang singgah di rumah Tuhan. Ratusan ribu manusia mengalir datang dan pergi, rukuk dan sujud di masjid yang penuh berkah itu.

Sementara itu di pelataran bagian barat masjid, di antara sekian banyaknya orang yang lalu lalang, ada dua orang lelaki yang baru saja masuk ke dalam masjid. Satu orang di antaranya yang masih muda memakai baju koko berwarna cokelat. Sedangkan yang satu lagi, pria dewasa dengan jambang di sekitar dagunya, memakai kemeja berwarna biru. Keduanya nampak berjalan dengan tergesa-gesa memasuki halaman utama masjid yang ada di lantai dasar.

"Tuan Hamza yakin Mas Vito ada di sini?" tanya seorang lelaki muda sembari mengedarkan pandangannya.

"Yakin, Azizi." Seorang pria dewasa itu, Hamza, mengangguk yakin. "Saya yakin pemuda yang kemarin sedang duduk dekat tiang masjid itu adalah Vito. Beberapa kali bertemu dia membuat saya hafal dengan perawakan tubuhnya."

Dua lelaki itu kembali mengedarkan pandangannya dengan harap-harap cemas. Berharap jika sosok yang dilihat Hamza itu memang benar Vito. Cemas jika terjadi sesuatu pada lelaki Indonesia itu yang telah menghilang selama 10 hari tanpa kabar.

Hamza yang tak lain adalah sopir pribadi Imam Reza Habibie, kebetulan menunaikan shalat jamaah di Masjid Katedral Moskwa setelah mengantarkan sang Imam menghadiri sebuah acara. Ia yang saat itu ingin menghampiri dan memastikan bahwa sosok yang dilihatnya adalah Vito, mendadak urung ketika tak sengaja ada seseorang yang menabraknya membuat sosok Vito menghilang dari pandangan.

"Tuan Hamza, apa itu Mas Vito?" tunjuk Zee pada seorang pemuda yang duduk bersandar pada tiang masjid dengan mengenakan baju koko dan kopyah berwarna putih. Kepalanya menunduk.

HELP [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt