Wonwoo sudah tidak dapat berbuat apa pun ketika kalimat barusan meluncur mulus dari bibir sang hawa. Bersamaan dengan kopernya yang digeret dan tungkai Livy yang perlahan menjauh, kepala si Jeon itu tertunduk lesu seperti habis melepas pergi setengah bagian dirinya.

"Oppa ...."

Namun, saat suara Livy kembali terdengar, Wonwoo segera mendongakkan kembali kepalanya. Ia dapati si gadis Seo tersenyum hingga matanya menyipit. Senyum yang jarang Wonwoo lihat dari gadis itu.

"Aku akan segera kembali lalu berkenalan secara resmi denganmu dan Seokmin."

Livy memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Berlanjut jalan memasuki rumah megah bak istana yang sudah lama tidak ia tinggali lagi. Tangan kanan gadis itu menyeret koper, sementara yang satu dibiarkan terkulai begitu saja.

Begitu menginjak ruangan pertama setelah pintu masuk, Livy langsung disambut oleh beberapa pelayan yang sebelumnya memang dipekerjakan oleh mama papanya di rumah itu. Para pelayan tersebut memang tidak lagi berada di rumah semenjak kematian mama papanya, penangkapan Livy, serta jatuhnya tahta si gadis Seo itu. Namun, beruntung saja dulu papanya memperlakukan para pelayan dengan sangat baik sehingga mereka masih ingat untuk setia pada keluarga itu. Terutama kepala pelayan yang sudah melayani keluarga itu bahkan sebelum Livy lahir.

"Selamat datang kembali, Nona Seo." Kepala pelayan menyambut Livy dengan senyuman hangatnya. Badannya membungkuk beberapa derajat diikuti pelayan yang lain.

"Angkat badan kalian," ucap Livy. "Mulai sekarang kalian tidak usah membungkuk padaku, cukup jaga sopan santun saja."

Pandangannya beralih pada kepala pelayan. "Terimakasih karena sudah kembali bersama mereka."

Wanita tua itu tersenyum lembut. "Tidak masalah, Nona. Sampai kapan pun tugas kami memang melayani Anda."

Ia kemudian mengikuti Livy ketika gadis itu mulai berjalan lagi. "Semua bagian sudah kami bersihkan, Nona bisa istirahat dengan nyaman di sini."

Langkah Livy terhenti pada lokasi mama papanya terbunuh malam itu. Samar-samar, bayangan adegan malam itu kembali terlintas di benak Livy.

Kepala pelayan yang menyadari hal tersebut lantas segera bicara, "Nona, apa Anda baik-baik saja kembali ke sini?"

"Ya, aku harus baik-baik saja, Bibi."  Livy tersenyum tipis, lantas pandangannya beralih pada lorong di bawah tangga yang terus mengundang rasa penasarannya. "Apa Bibi tahu ruangan apa yang ada di ujung lorong itu?"

Kepala pelayan tidak langsung menjawab. Wanita itu sempat bungkam beberapa saat dengan ekspresi yang menjadi tanda bahwa ia enggan membicarakan perihal keberadaan ruangan tersebut. Namun, akhirnya ia tetap buka suara lantaran melihat air muka Livy yang sarat akan rasa ingin tahu.

"Saya juga tidak tahu. Tidak ada pelayan yang diperbolehkan atau berani masuk ke lorong itu, Nona. Bahkan Tuan besar juga tidak pernah menginjakkan kaki di sana."

Kening Livy berkerut. "Apa? Papa tidak pernah menginjakkan kaki di sana? Lalu kenapa ruangan itu dibuat?"

"Seingat saya, ruangan itu semula hanya gudang, tapi fungsinya mulai diubah saat Nyonya Kedua datang. Mulai saat itu tidak ada pelayan yang diperbolehkan memasuki ruangan. Urusan bersih-bersih dan yang lain selalu dikerjakan Nyonya Kedua sendiri."

"Nyonya Kedua? Maksud Bibi, istri kedua Papa?"

Kepala pelayan mengangguk, membenarkan ucapan Livy. Kalau itu istri kedua Papanya, bukankah berarti itu ibu Wonwoo? Tapi kenapa bisa ruangan suram itu miliknya? Kenapa tidak ada satu pun pelayan yang boleh masuk ke sana? Apa ibunya yang selama ini selalu Livy rindukan itu benar-benar pemilik ruangan di ujung lorong?

"Tapi omong-omong Nona, bagaimana Anda akan kembali ke perusahaan?"

Lamunan Livy perihal ibunya dan ruangan di  ujung lorong seketika lenyap ketika mendengar pertanyaan kepala pelayan. Benar juga, Livy belum sempat memikirkan hal itu dengan serius semenjak merencanakan kembali ke rumah.

"Ah, aku belum memikirkannya," ucap si gadis Seo. Beberapa sekon kemudian, ia menoleh sambil tersenyum miring. "Tapi Bibi tenang saja, mudah bagi Ratu untuk kembali ke tahtanya."

Suasana lobi perusahaan besar itu tidak jauh berbeda dari biasanya. Para pegawai mulai datang kerja di jam masuk, menempelkan kartu pegawai mereka agar bisa leluasa masuk ke dalam perusahaan tempat mereka bekerja. Para penjaga menjaga pintu dan menghalangi orang tidak berkepentingan untuk masuk begitu saja.

Satu-satunya yang beda dari hari biasa selama beberapa bulan itu adalah keberadaan mobil mewah kesayangan Livy yang direm mendadak hingga menyebabkan bunyi decitan tepat di depan pintu masuk.

Begitu si pemilik mobil keluar dari dalam sana dengan penampilan elegan seperti sosoknya yang dulu, semua orang yang melihat langsung kebingungan. Entah mau menyapa dan membungkukkan badan seperti dulu, atau mau mengusirnya. Sebab, tentu saja semua orang di sana tahu kalau si gadis Seo itu sudah didepak dari struktur perusahaan.

"Apa ini? Kenapa tidak ada yang menyambutku?" Livy menaikkan sebelah alisnya, mencoba beri intimidasi pada orang-orang di hadapannya.

Saat masih tampak kebingungan di wajah mereka, Livy terkekeh kecil. "Ah, sepertinya kalian belum tahu kalau mulai hari ini aku akan kembali ke sini." Ia melunturkan senyum remehnya. "Masih mau bersikap begini padaku?"

Seketika, orang-orang tadi membungkukkan badannya pada Livy sembari memberi ucapan selamat datang. Senyuman menang langsung tersungging di bibir Livy. Gadis itu sukses melenggang masuk ke dalam perusahaan.

Semalam, saat kebingungan mulai melanda si Seo lantaran tidak dapat memikirkan cara untuk kembali ke posisinya di perusahaan, kebetulan sekali pengacara papanya menelpon dan mengatakan kalau ia sudah dengar kabar kembalinya Livy dari kepala pelayan.

Entah bisa dibilang beruntung atau tidak, tapi Livy baru tahu saat ia bertemu dengan pengacara papanya, kalau hak waris perusahaan sudah diberikan pada Livy. Memang belum disahkan oleh Tuan Seo, sebab insiden malam itu datang secara tiba-tiba. Namun, ada pernyataan lain yang mengatakan Livy tetap akan mewarisi perusahaan tersebut jika mereka dalam situasi terdesak dan bila Livy sudah siap untuk memegang posisi penting tersebut.

Livy membuka ruangan presdir begitu saja, sebabkan pria paruh baya yang semula sedang duduk tenang di kursi presdir jadi terbangun kaget.

"Apa yang kau lakukan di sini!" Pria itu langsung menyeru tidak senang atas kedatangan Livy. "Apa pantas seorang pembunuh berkeliaran begitu di perusahaan ini?!"

Livy tertawa mengejek. Ia pikir, pamannya itu benar-benar lucu. Kira-kira bagaimana ya ekspresinya jika mengetahui sebentar lagi ia yang akan didepak dari perusahaan itu.

"Ah, Paman. Kenapa bicara begitu pada keponakan manismu ini?" katanya, masih belum melepas raut meremehkan di wajahnya. "Aku datang kemari tentu saja untuk bekerja. Ah, omong-omong, Paman harus menyingkir dari sana, itu kursiku."

"Kursimu? Gadis gila, apa kau lupa kalau sudah diusir dari sini?!"

Ekspresi wajah Livy berubah datar. Gadis itu lantas melemparkan sebuah dokumen ke meja. "Hei, Pak Tua, bisa tidak baca dulu ini?"

Pamannya meraih dokumen itu, mulai membaca satu per-satu kalimat di dalamnya hingga air mukanya berubah kaget bukan main.

"Sudah selesai? Makannya jangan cuma menyalak seperti anjing kalau tidak tahu situasinya, sialan."

Mulai saat itu juga, Seo Livy resmi kembali ke perusahaan sebagai presiden direktur.

[]

Stlh sampai sini, apakah kalian tercerahkan atau tergelapkan gais ^﹀^

𝓶𝓸𝓻𝓽𝓪𝓵𝓪。Where stories live. Discover now