Yang Tak Diharapkan

Start from the beginning
                                    

***

Aku menutup pintu kamar mandi setelah selesai membersihkan diri. Lalu melangkah menuju pintu kamar yang tak jauh dari kamar mandi. Namun, saat aku melihat meja makan, tiba-tiba rasa laparku mendesak. Terpaksa, aku pun mendekati meja makan itu, tapi kemudian aku hanya bisa menghela napasku pelan, tidak ada makanan apa pun di sana. Sebutir nasi pun tidak terlihat olehku, benar-benar bersih.

Ya, ini juga bukan pertama kalinya untukku, dan, sudahlah aku tidak bisa berkomentar apa-apa. Terkadang, aku berpikir, mungkin akan lebih baik menjadi anak tiri yang setidaknya masih memiliki hubungan darah, daripada menjadi anak angkat yang sama sekali bukan siapa-siapa dan hanya dipandang sebelah mata. Menyedihkan, itulah aku.

Aku kembali melangkah menuju kamarku dengan perut yang terpaksa menahan lapar. Aku harus segera tidur, agar rasa laparku hilang. Apalagi kepalaku mulai terasa berat, sepertinya hujan benar-benar membuatku terserang demam.

Pintu kamar pun kemudian aku tutup dan kunci rapat, lalu aku tidur tanpa mematikan lampu kamar. Aku takut gelap, karena itu aku tidak pernah mematikan lampu ketika tidur.

"Jadi dia sudah pulang ke rumah?" Aku membuka mataku ketika suara kegaduhan terdengar dari luar kamarku. Rumah yang tadinya benar-benar sepi pun seketika berubah seperti medan perang. Apalagi saat seseorang terdengar menggedor pintu kamarku keras.

"Elang! Keluar kamu, buka pintunya!" teriak suara wanita paruh baya, itu ibu angkatku, Rika.

"Elang!" Suara lain menyahuti, gedoran yang semakin keras pun terdengar.

Aku sesegera mungkin bangkit dari tempat tidur, tapi kemudian aku terduduk sebentar saat kepalaku terasa berdenyut kuat.

"Elang! Buka pintunya atau saya dobrak pintu kamar kamu," kata suara paruh baya itu, dia pasti Wirabrata, ayah angkatku.

"Iya, tunggu sebentar," jawabku pelan. Kemudian, aku melangkah menuju pintu kamar sembari menahan rasa sakit yang menerjang kepalaku.

Cepat. Aku membuka pintu itu. Kemudian menatap kedua orang tua angkatku yang tengah berdiri di depan pintu dengan raut wajah murka, lalu di belakang mereka tampak Winda menatapku cemas.

"Ada ap-" Belum sempat bibir ini mengatakan sebuah kalimat tanya, tinjuan Wirabrata lebih dulu membungkam mulutku.

Aku terhuyung ke belakang saat mendapatkan pukulan mendadak itu. Darah kental pun terasa mengalir dari hidungku-mimisan. Aku mengusap darah itu, kemudian menatap ayah angkatku yang tampak memandangku tajam. Apalagi ini? Kesalahan apa yang aku buat sampai pria paruh baya itu memukulku?

Rintihanku kembali tertahan saat Rika-ibu angkatku-ikut melakukan penyerangan. Rambutku tiba-tiba dijambak kuat olehnya.

"Ma, ampun, Ma. Ampun ...," lirihku.

"Ampun kamu bilang?!" tukas ibu angkatku.

"Tidak tahu diri kamu, Elang," sahut ayah angkatku.

Aku hanya bisa diam. Walaupun ingin sekali aku bertanya, 'Memangnya apa dosaku pada kalian?'. Tapi, bibirku seakan kelu saat mataku beradu tatap dengan wajah beringas Wirabrata. Hidung pria paruh baya itu terlihat kembang kempis, napasnya pun terdengar memburu, aku tahu pasti gelagatnya ini, dia sedang dipenuhi oleh emosi yang bisa kapan saja meledak.

"Kamu menghamili adikmu sendiri, manusia macam apa kamu ini?!" pekik ibu angkatku.

Aku terbengong. Menghamili Winda? Aku? Tidak, aku tidak pernah melakukannya. Bahkan melihatnya sebagai seorang wanita saja tidak pernah. Bagiku, Winda hanyalah seorang anak kecil yang terus merengek meminta cintaku. Aku ingat dengan jelas, dua tahun yang lalu saat Winda baru masuk SMA, dia tiba-tiba memaksaku untuk menjadi pacarnya. Lalu, dengan tegas aku pun menolaknya. Winda memang sudah tidak waras, dan sekarang aku dituduh hamil anaknya? Yang benar saja, ini sungguh tidak masuk akal. Kelicikan apa lagi yang Winda perbuat.

"Enggak mungkin, Ma. Aku bahkan gak pernah menyentuh Winda satu helai rambut pun, bagaimana bisa aku menghamilinya?" kilahku, mencoba membela diri.

"Apa Kakak lupa yang kita lakukan malam itu?" sahut Winda. Sontak mataku membeliak. Sudah aku bilang, perempuan itu memang sudah tidak waras, yang aku tahu dia itu menderita Boderline Personality Disorder saat pernah melakukan tes psikologis dan dia memintaku sebagai walinya. Tidak ada yang tahu penyakitnya itu, selain aku, dan dokter yang bertanggung jawab saat itu.

"Win, aku-"

"Kak," sela Winda, cepat. "Aku tahu Kak Elang tidak pernah menyukaiku, tapi itu gak akan pernah menutup fakta kalau anak di dalam perutku ini anak Kakak. Seenggaknya Kakak akui dia sebagai anak Kakak. Winda mohon sama Kakak, nikahi-"

"Nikah?!" sahut Wirabrata. Napasnya semakin memburu, emosinya benar-benar siap meledak. "Papa enggak akan pernah mengizinkan kamu menikah dengan laki-laki tidak berguna seperti dia. Tidak, tidak akan pernah," katanya, tegas.

"Tapi aku hamil anaknya Kak Elang, Pa," sungut Winda. Aku menghela napas dalam diam. Winda memang keras kepala, semua apa yang dia inginkan harus terwujud, begitulah sifatnya.

"Enggak, Winda. Walaupun kamu hamil anak dia. Mama sama Papa enggak akan pernah kasih restu kamu buat nikah sama dia. Sekalipun kalian halal untuk menikah," tukas ibu angkatku. Hatiku mendesah. Aku juga tidak pernah bermimpi menikah dengannya. Siapa juga yang mau menikah dengan perempuan seperti dia. Tidak ada, kecuali ... Willy. Tunggu, apa itu anak Willy?

Willy adalah pria yang menyukai Winda sejak dua tahun yang lalu. Tapi, Winda yang bodoh malah sibuk mengejar cintaku dan mengabaikan cinta tulus Willy. Dan, beginikah akhirnya? Apa Winda memanfaatkan benih Willy untuk menuduhku menghamilinya? Sungguh gila jika itu memang kebenarannya.

"Mulai sekarang kamu bukan bagian dari keluarga ini lagi," tegas Wirabrata menatapku. Jadi, aku dipecat sebagai anak angkat? Jujur saja, rasanya aku ingin sekali tertawa miris. Beginikah akhir dari statusku sebagai seorang anak angkat? Pada akhirnya aku diusir dari keluarga ini. "Pergi dari rumah ini sekarang juga, sebelum saya laporkan kamu ke polisi," lanjutnya.

***

Hidup memang tidak adil. Biasakanlah dirimu. Aku meringis mengingat perkataan Bill Gates itu. Pria kaya raya itu benar, hidup memang tidak adil sekalipun Tuhan memberikan oksigennya secara percuma. Sejak dulu, aku sudah berusaha membiasakan diriku dengan kehidupan yang aku jalani. Tapi, sejauh kakiku menapaki ruang dan waktu, aku tidak pernah terbiasa. Aku ingin sekali bersyukur, hanya saja kepahitan hidupku lebih pekat daripada obat yang biasa kukunyah tanpa air minum.

Nasib burukku rasanya tidak akan pernah berakhir. Dan, apa yang aku alami saat ini adalah puncak dari nasib burukku. Aku dibuang setelah sekian tahun menumpang nama sebagai salah satu anggota keluarga Wirabrata.

Pada akhirnya, aku akan kembali pada diriku yang sebenarnya. Sebatang kara bagai gelandangan di ibu kota. Aku menghela napasku berat. Gerimis yang membasahi tubuhku pun seolah tidak bisa menyurutkan semua emosi yang terbendung dalam diriku. Andai saja aku punya sedikit keberanian pada mereka, ingin sekali aku mengutarakan apa yang terpendam dalam hatiku. Tapi, aku tidak pernah bisa. Aku sadar bahwa aku pria lemah yang seakan hanya bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Padahal, aku bukan orang senaif itu.

Aku memeluk erat tas ransel berisi pakaianku saat udara dingin semakin membekukan tubuhku. Aku menggigil, tapi tidak ada tempat bagiku untuk berteduh. Di saat seperti ini, aku berpikir, mungkin jika setidaknya aku punya satu teman akan lebih baik, karena aku bisa meminta bantuannya. Namun, sayangnya aku tidak punya. Aku bukan tipe orang yang mudah terbuka apalagi bergaul, sekalipun banyak teman-teman di kampus yang terkadang sering mengundangku untuk menjadi temannya. Aku lebih nyaman dengan kesendirian, walau kemudian aku sadar, sendiri itu bukan hal yang benar-benar baik.

I Can See You: Dark LifeWhere stories live. Discover now