Yang Tak Diharapkan

15 5 23
                                    

Februari, bulan paling basah sepanjang tahun. Hujan akan terus mengguyur tanpa henti. Banyak yang mengeluh walaupun mereka tahu bahwa hujan adalah rahmat Tuhan. Tapi, sekalipun begitu, mulut manusia yang tidak tahu cara bersyukur akan terus mengeluarkan keluhannya, begitu juga denganku. Padahal, pada saat musim kemarau hatiku terus mengharapkan rintik-rintik air itu jatuh membasuh bumi yang seolah terbakar matahari. Aneh memang, tapi bukankah begitu sifat manusia? Tidak pernah mensyukuri apa yang ada di depan matanya.

Setelah perjuangan panjang menahan hawa dingin yang meresap masuk ke dalam tubuhku. Akhirnya aku bisa menghela napas lega saat kakiku berpijak pada teras rumah. Tepat saat itu, gerimis berubah menjadi rintikan deras bercampur angin yang berembus kencang. Syukurlah, aku sampai di rumah sebelum hujan deras kembali mengguyur.

Selesai melepas sepatuku yang basah, kakiku yang sudah keriput karena air hujan pun melangkah mendekati pintu rumah. Tanganku perlahan memutar handle pintu rumah itu pelan. Aku tidak boleh menimbulkan suara bising, karena itu bisa membangunkan orang rumah yang kuyakin sudah tidur semua.

Sampai beberapa detik kemudian aku terdiam, tanganku berhenti memutar handle pintu yang tak kunjung terbuka, dan seketika aku sadar kalau pintu rumah ternyata sudah dikunci. Aku meringis, ayah angkatku pasti sudah menguncinya, walaupun dia tahu kalau putra angkatnya ini belum pulang ke rumah di saat hujan deras mengguyur di tengah malam yang gelap dan dingin.

Aku menghela napas pelan, ini bukan kali pertamanya untukku, dan aku sebagai anak angkat hanya bisa selalu memahami sikapnya yang terkadang membuatku tidak bisa berkomentar apa-apa. Karena, begitulah nasib seorang anak angkat, seperti parasit yang tidak diharapkan kehadirannya, sekalipun diri ini sudah berusaha keras memperjuangkan sebuah pengakuan. Medali, piala, sertifikat, dan bahkan uang, seolah belum cukup untuk menyuap mereka agar mau menerimaku apa adanya. Tapi, setidaknya namaku masih tercantum dalam daftar kartu keluarga mereka, dan itu sudah cukup berarti bagiku.

Delapan belas tahun yang lalu, aku diadopsi oleh sepasang suami istri yang belum dikaruniai anak setelah lima tahun menikah-Wirabrata dan Rika-yang kini menjadi orang tua angkatku. Beberapa tahun aku tinggal bersama mereka, kenangan manis pun tertoreh di kepalaku. Setiap kali teringat kenangan samar itu, aku sering kali tersenyum, miris.

Sampai kemudian, lahirlah Winda Wirabrata, anak kandung mereka yang sejak lama mereka harapkan kehadirannya. Winda bagai sebuah momok untukku, karena setelah kehadirannya, aku seperti seonggok boneka yang tak diharapkan lagi. Ketidakadilan pun merajai hidupku. Makian, cacian, dan bahkan pukulan serta hukuman yang kejam mereka goreskan pada mentalku yang saat itu masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu dan ayah.

Aku mengembuskan napas berat tiap kali mengingat kenangan buruk itu. Masa lalu yang buruk memang tidak seharusnya diingat. Aku kemudian mengeluarkan kunci duplikat yang aku buat beberapa tahun lalu, sebagai senjata andalanku saat aku tidak mendapatkan pintu rumah dan dikunci di luar rumah seperti saat ini.

Pintu rumah itu akhirnya berhasil kubuka. Kemudian, aku pun menyelinap masuk ke dalam dan mengunci pintu rumah kembali.

Perlahan, aku melangkah menuju kamarku yang terletak di bagian paling belakang rumah ini. Dan saat aku melewati ruang tengah, kulihat TV masih menyala, tapi tidak ada satu orang pun di sana. Aku menghela napasku panjang, kebiasaan, pikirku. Mereka memang suka membuang arus listrik dengan percuma. Tapi, aku bahkan tidak bisa mengatakan nasihat itu pada mereka, ya, mereka-penghuni rumah ini selain aku-ibu angkatku, ayah angkatku, dan satu lagi Winda, gadis manja yang suka sekali menempel padaku.

Aku mengabaikan TV yang masih menyala itu tanpa berniat mematikannya. Bukan karena tak mau mematikannya, tapi ini dari hasil pengalamanku, pernah aku mencoba mematikan TV yang masih menyiarkan acara hiburan lokal, dan esoknya aku harus absen sekolah karena tubuhku yang penuh dengan memar berwarna keunguan. Aku tidak mau mengambil risiko, karena itu biarkan saja TV itu terus menyala sampai fajar tiba. Toh, yang membayar listrik juga bukan aku.

I Can See You: Dark LifeWhere stories live. Discover now