Mayat Di Kampus

2 1 0
                                    

Malam itu, hujan deras kembali hadir di tengah kegelapan. Pemadaman listrik terjadi di bagian Rawamangun, Jakarta Timur. Hanya cahaya putih yang menjadi teman menakutkan setiap mata.

Universitas Negeri Jakarta, gedung Fakultas Teknik. Terlihat seorang perempuan berlari masuk ke dalam gedung itu.

Dua satpam yang menjaga keamanan gedung tampak sedang berteduh di pos depan, mengobrol satu sama lain sambil menyeruput kopi panas penghangat tubuh.

Perempuan malang itu terlihat basah kuyup. Bibirnya pucat dan gemetar antara kedinginan dan ketakutan. Kakinya tampak telanjang sebelah. Hanya satu sepatu kets-nya yang masih tersisa di kaki kanannya.

Setiap tangga telah dia naiki, tapi rasanya perempuan itu tidak akan pernah berhenti berlari. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang, memastikan sesuatu tidak mengikutinya. Namun, melihat wajahnya yang masih cemas, sesuatu itu pasti masih mengejarnya.

Winda, perempuan itu telah sampai di lantai paling atas, tak ada jalan lagi baginya untuk berlari. Dia seolah terjebak dalam kegelapan, tak ada cahaya, bulan pun hilang ditelan oleh mendung yang menangis deras.

Pupil mata Winda melebar dalam kegelapan itu, ia menyapu semua sudut tempat yang menunjukkan celah baginya untuk kabur. Sebuah pintu yang terhubung ke atap menjadi pilihan baginya untuk kabur.

Winda menarik gagang pintu itu gusar. Dia beruntung karena pintu itu sepertinya belum dikunci. Winda membuka pintu itu, lalu keluar dari dalam gedung tersebut, tetapi sekalipun dia telah berada di luar ruangan, Winda tetap merasa seperti seekor tikus yang terjebak dalam perangkap. Tak ada jalan baginya untuk kabur lagi. Hanya ada satu pertahanan yang hampir membuatnya putus asa, Winda menahan pintu itu kuat agar seseorang yang ada di dalam sana tak dapat menangkapnya.

Namun, semua pertahanannya itu sia-sia saat tubuh lemahnya tak lagi dapat menahan dobrakan keras dari balik pintu itu. Winda terpental cukup keras. Ringisan kesakitan terukir di wajahnya yang tampak pucat pasi. Winda masih berusaha bangkit, walaupun usahanya itu gagal.

Perempuan itu akhirnya memilih merangkak mundur ketika sepasang kaki melangkah mendekatinya. Tubuh Winda semakin gemetaran.

"Tolong jangan bunuh saya," lirih Winda, disela-sela isak tangisnya. Tubuhnya tampak merangkak mundur ketika sepasang kaki terlihat melangkah mendekatinya, membuat Winda semakin bergerak gusar.

Pria berjas hujan hitam dengan tudung yang menutupi wajahnya itu tampak menyeringai. Seringaian yang membuat jantung Winda semakin berpacu kencang.

"Saya janji tidak akan melaporkan Anda ke polisi atau siapa pun. Tolong jangan bunuh saya ...." Winda terus melontarkan permohonannya, berharap pria yang tak punya empati itu merasa kasihan padanya.

Kaki pria itu berhenti melangkah, tepat saat Winda berada di ujung pagar pembatas atap. Pria itu diam beberapa meter dari sosok Winda yang masih bergerak gusar sambil memegangi perutnya yang terasa nyeri.

Beberapa saat kemudian, pria itu terlihat membenarkan letak sarung tangan lateksnya. Lalu, ia kembali melangkah ke depan.

Kepala Winda menggeleng kuat, meminta pria itu untuk tidak mendekat. Namun, semua itu tidak ada artinya, langkah pria itu masih berlanjut sampai akhirnya benar-benar tidak ada jarak di antara mereka.

"Seharusnya aku tidak melihatmu bersamanya," bisik pria itu, yang kemudian mendorong Winda tanpa keraguan.

Tubuh Winda jatuh bersama kilat yang menyambar bumi. Senyum menyeringai dari pria itu menjadi pemandangan terakhir yang Winda lihat di akhir hayatnya.

"Kak Elang ...," lirih Winda, sebelum tubuhnya menyapa lantai semen yang basah diguyur hujan.

***

"Kalau bukan karena Pak Rusli, gue males banget dateng ke kampus sepagi ini," ujar seorang pria berambut keriting.

"Emangnya lo aja yang males, gue juga, Bambang," balas pria yang satunya.

"Nasib kita berdua apes banget sih dapet nilai D yang dosennya sejenis Pak ...." Kalimat pria itu tergantung. Bukan karena sengaja, melainkan karena sorot matanya tertumpu pada sesosok perempuan yang tampak terbujur kaku.

"Bam, bukannya itu ...."

"Mayat!"

***

Petrichor, aromanya menusuk hidungku sepanjang kakiku melangkah pagi ini. Sinar matahari mulai menampakkan dirinya ketika awan putih berangsur pergi meninggalkan langit biru kota Jakarta Timur subuh tadi. Hari ini, rasanya mood-ku sedang berada di atas kata sangat baik. Aku merasa bahagia sampai membuat bibirku terus mengukir senyum yang seolah tidak akan pernah luntur sekalipun diguyur oleh hujan deras. Namun, semua itu hanya ekspetasiku saja. Karena tak lama kemudian senyumku menguap saat kedua mata ini melihat garis polisi terpasang di depan halaman pintu masuk Fakultas Teknik.

"Elang," panggil seorang pria dari arah depanku. Dia Aron. Aku menatapnya bingung, kenapa dia ada di sini?

"Itu dia!" Suara lain terdengar menyahut di antara para petugas Inafis yang sedang memeriksa TKP. Aku mengenali suara itu dengan sangat baik. "Dia pembunuhnya!" teriak Bu Rika, mantan ibu angkatku.

"Pembunuh?" lirihku pelan.

Tak lama kemudian, dua orang yang mengenakan seragam kepolisian tampak menghampiriku cepat. Mereka berdiri di depanku dan menatapku penuh selidik.

"Elang Orlando?" tanya salah satu dari dua petugas kepolisian itu.

"Ya?"

"Silakan ikut kami ke kantor polisi untuk memberikan keterangan Anda," katanya.

"Aku akan ikut bersamanya," sahut Aron.

Seketika itu aku menoleh padanya. Menatapnya dengan raut heran. Dia selalu saja ikut campur dengan urusanku.

"Gue bisa jadi alibi terbaik lo. Gue yakin lo gak salah," kata Aron, yang seolah tahu dengan arti tatapanku padanya.

Aku menghela napasku pelan. Tahu apa dia tentangku sampai dengan sangat yakin mengatakan kalau aku tidak bersalah. Dia terlalu naif.

I Can See You: Dark LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang