"Bodo amat!" Gilang menyahut cepat. Pasalnya dia adalah tipe orang yang tak suka diajak bercanda. Sementara Arsen hanya mendengus.

"Lo berdua udah nemu ide bagus belum?" Arsen bertanya parau seraya mengipas-ngipaskan telapak tangannya. Berharap bahwa rasa gerah akan berkurang. Namun nyatanya usaha benar-benar sia-sia.

Rafis dan Gilang kompak menggeleng.

Arsen membuang nafasnya kasar. Beruntunglah tadi dia sempat menemukan ide. Jadi dia tak perlu mencari ide lagi. "Gue udah punya ide," Arsen berujar dengan bangga.

Wajah Rafis seketika langsung berbinar. "Ide apa tuh bos?"

"Ide apaan?" Gilang bertanya dengan sedikit mengangkat dagunya.

"Sini," Arsen menyahut cepat. Seringai menyeramkan kembali muncul di wajah tampannya. Kontan jawaban Arsen barusan langsung mendapatkan respon dari Rafis dan Gilang dengan cepat. Mereka berdua kini mendekatkan wajahnya ke arah wajah Arsen. Tentunya Arsen ingin membisikkan ide cemerlangnya.

o0o

Dahi Alna seketika langsung berkerut ketika dia dan kedua anak buahnya sudah sampai di taman belakang sekolah. Terlihat taman itu tampak begitu indah untuk dipandang. Bagaimana tidak? Beragam macam jenis bunga disusun sedemikian rupa agar terlihat menarik.

Begitupun dengan kursi panjang yang terbuat dari kayu masih saja terlihat baru walau kenyataannya sudah ada sejak lama. Adapun lampu-lampu kecil yang mengalung pada pohon besar yang berjejeran indah yang berhasil menyejukkan mata. Di ujung sana ada kolam ikan berukuran tidak kecil juga tidak besar.

Sama halnya dengan para murid yang setiap hari tidak pernah melupakan untuk mengunjungi taman walau hanya untuk melihat beragam ikan hias yang tentunya harganya tidaklah murah. Wajar saja, mengingat bahwasanya sekolah Dark Blue adalah sekolah yang tergolong elit dan muridnya adalah golongan yang berada.

Namun agaknya Alna tidak terlihat mengamati taman, melainkan mengamati alat make up-nya yang sudah hancur dan sudah tidak berbentuk yang kini sudah berceceran di atas rerumputan yang setiap hari di sapu oleh penjaga sekolah. Sayang sekali make up mahalnya sudah tidak bisa di pakai kembali dan kini terlihat sangat mengenaskan.

Wajah Alna terlihat memanas dan memerah karena menahan amarahnya yang sudah mencapai pada ubun-ubunnya. Bagaimana tidak? Alat make up-nya tentu saja harganya sangat mahal. Bagaimanapun juga alat make up-nya dia beli pada saat pergi ke luar negeri minggu lalu. Padahal dia baru saja pakai dua hari. Tetapi kenapa malah dihancurkan seperti itu, huh?

Mata Alna sekarang sudah berkaca-kaca. "Make up gue?" Alna bertanya lirih. Kedua lututnya sungguh terasa sangat lemah hingga detik berikutnya tubuhnya luruh di atas rerumputan berwarna hijau tua.

Detik berikutnya kedua anak buah Alna saling berpandangan, tentu saja mereka sekarang sedang bingung. Pasalnya sehabis istirahat tadi, mereka bertiga menghabiskan waktunya di kamar mandi. Tentunya mereka bertiga kesana untuk mempercantik wajah mereka dengan polesan make up yang harganya terbilang mahal. Wajar, karena make upnya limited edition dan tentunya sangat sulit di jangkau oleh kalangan bawah.

Suara derap langkah kaki tiba-tiba memecah keheningan yang begitu kentara pada taman belakang sekolah. Tiba-tiba Arsen beserta dua sahabatnya muncul dari balik koridor. Mereka bertiga tertawa sesaat saat melihat kondisi Alna yang sekarang sangat terlihat mengenaskan. Ah, sayang sekali melihat make up Alna yang memoles wajahnya sudah luntur karena air matanya sendiri.

Kontan kemunculan Kenan bersama kedua sahabatnya membuat Alna berhenti menangis. Buru-buru dia mengangkat kedua tangannya untuk mengusap air matanya yang tidak bisa dia bendung keluar begitu saja dari pelupuk matanya. Dia malu, sungguh sangat malu. Bagaimana bisa dia menangis didepan pujaan hatinya? Siapa lagi kalau bukan Arsen?

Sempat ragu sejenak namun Alna sekarang sudah mendongakkan kepalanya menatap ke arah Arsen yang tengah menyeringai menyeramkan. Sesaat perasaannya langsung berkecamuk. Degup jantungnya berpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Dia merasa bahwa saat ini adalah bencana baginya. Sayangnya dia sudah tidak bisa lari kemana lagi. Semuanya sudah terlambat tentunya.

Kemunculan Arsen tentu saja bukan hal baik yang harus dia hadapi. Namun, sebisa mungkin dia menguatkan hatinya untuk tetap bisa tegar. Berharap bahwa nantinya akan baik-baik saja, tidak seperti apa yang barusan dia pikirkan. Tiba-tiba Alna merasa bahwa make upnya hancur karena ulah Arsen dan kedua sahabatnya. Tetapi dia tidak ingin berburuk sangka dahulu sama mereka. Siapa tahu bukan mereka pelakunya?

Alna beranjak dari duduknya. Dia membersihkan rok pendeknya dari debu-debu kotor yang menempel. Senyumnya mengembang tatkala melihat wajah tampan seorang Arsen yang kini tengah melipat kedua tangan kekarnya di depan dada. Rambutnya terlihat sedikit basah dan berantakan. Namun hal itu tidak mengurangi ketampanannya. Yang ada ketampanannya semakin bertambah.

Dia Arsen (END)Where stories live. Discover now