네가 기억이 안나.

23 7 6
                                    

Diguyur angin segar khas musim semi, Hak Yeon menepikan kursi roda Oh Seung Hee di taman belakang rumah sakit. Sangat sepi, hanya terlihat satu-dua perawat yang melintas dari kejauhan. Hak Yeon sontak menjatuhkan bokong pada dipan kayu yang tersedia, tentu saja setelah memastikan kursi roda gadis bermarga Oh itu terparkir sempurna.

“Udaranya sejuk sekali.” Seung Hee mendesis, seraya tersenyum tipis pada pemuda di hadapannya. “Terima kasih telah membawaku ke sini, Ha …”

“Hak Yeon. Cha Hak Yeon.”

Malu, Seung Hee lantas menggaruk tengkuk. “Ya, itu. Maaf, Hak Yeon-ssi, aku …. Tidak banyak hal yang bisa kuingat dalam waktu dekat ini.”

“Tak apa. Nenekku di Changwon juga tidak bisa mengenaliku dalam sekali tatap.” Hak Yeon terkekeh getir sembari melepas ransel hitamnya. Letih juga memaksa berkunjung usai latihan baseball. “Terakhir kali berkunjung ke sana, aku malah disangka Ayah.”

“Itu pasti karena kau sangat mirip dengan ayahmu semasa muda.”

Pemuda berkulit gelap itu mengangguk. Bibirnya membentuk lengkungan sabit lebar-lebar, amat senang. Jauh sebelum penyakitnya terdeteksi, Oh Seung Hee memang selalu menggumamkan kalimat yang sama tiap kali melihat album dokumentasi pribadi milik keluarga Cha. Satu lagi langkah positif yang akan membawa Seung Hee pada ingatannya!

“Jadi, apa kau benar-benar tahu semua hal tentangku?” tanya Seung Hee, memastikan jika Cha Hak Yeon serius ingin membantunya mengembalikan memori. Hak Yeon, yang tekadnya bulat, sudah pasti mengangguk antusias. “Seberapa banyak?”

“Kau meragukanku?”

Gelengan cepat Seung Hee terkesan layaknya gerak refleks. “Tidak juga. Hanya saja, sebaik apa pun kelihatannya, aku tetap harus waspada terhadap orang asing.”

Hak Yeon tercekat. Asing …. Waspada terhadap orang asing …. Benak pemuda bermarga Cha itu kini hanya terisi dengan kata-kata serupa. Perih, seperti tersiram air panas rasanya. Sesulit inikah menjadi pemandu ingatan Oh Seung Hee?

“Kau bilang kita berteman sejak kecil, hmmm?” Tatapan intens sang gadis masih tersirat ragu. “Apa yang biasa kita lakukan dulu? Bermain? Makan es krim? Atau, mandi bersama?”

“Kita tidak pernah mandi bersama lagi semenjak masuk tingkat dasar,” aku Hak Yeon sambil melipat kedua tangan di dada. Menghalangi logo sekolahnya yang menghiasi saku kemeja. “Kita juga tidak terlalu sering makan es krim, karena aku gampang sekali terkena flu.”

“Lantas?”

Hak Yeon menarik ritsleting ranselnya, kemudian mengeluarkan stoples kaca berlabel gambar buah stroberi dan satu pak tisu basah dari dalam sana. “Beginilah cara kita bermain.”

“Kita mengoleskan selai stroberi pada tisu?” Seung Hee mengernyit.

“Berikan tanganmu,” titah Hak Yeon. Gadis itu menurut saja dan membiarkan Hak Yeon mengelap tangan kanannya dengan helaian tisu basah. Sebersih-bersihnya. “Kita biasa memakan selai langsung dengan jari, tak peduli walau ayahku sering mengomel karenanya.”

Seung Hee masih tidak percaya. “Kita benar-benar anak yang jorok.”

“Memang.” Senyuman Hak Yeon terpampang jelas. Dibukanya stoples itu dengan hati-hati, lalu Hak Yeon mencelupkan telunjuknya pada luapan merah manis favorit mereka. “Kita juga suka melumuri wajah masing-masing dengan selai, sebelum tahu apa akibatnya ketika remaja. Kalau saja dulu ibumu tidak memberi kita perawatan gratis di salonnya, mungkin jerawat kita saat ini sudah tidak terhitung jumlahnya!”

“Bodoh.” Seung Hee ikut menenggelamkan jarinya ke selai stroberi, kemudian menjilatnya sedikit. “Tapi, rasanya lumayan juga. Apa lagi yang kau tahu?”

Lihat? Dia sedang mengetesmu, Cha Hak Yeon.

“Kenapa berbeda?” Dahi Seung Hee kembali mengerut tatkala Hak Yeon mengeluarkan dua botol plastik dari ranselnya. Berwarna merah muda dan kuning tipis.

“Kita sama-sama suka selai stroberi, tapi kalau susu…” Hak Yeon meminta jeda untuk mengocok kedua botol plastik sekaligus, juga memberikan salah satunya pada Seung Hee. “Yah, aku lebih suka rasa pisang, meski kau sering mengejekku dengan sebutan monyet karena hal itu. Biasanya juga, aku akan memberitahumu kalau pisang itu bagus untuk atlet.”

Mata Seung Hee membulat. “Kau seorang atlet?”

“Baseball,” sahut Hak Yeon. Inilah saat yang tepat untuk melayangkan informasi tentang dirinya kepada Oh Seung Hee. “Aku adalah pitcher terbaik SMP kita, dan predikat itu juga tidak berubah saat masuk tingkat atas. Keren ‘kan?”

“Padahal, untuk ukuran pria, bahumu kecil sekali.” Seung Hee berkomentar seraya terkekeh, lalu meneguk susu stroberinya yang tidak lagi dingin. “Penampilan memang tidak bisa dijadikan patokan menilai seseorang, ya? Kukira kau laki-laki lembek.”

Gurauan itu … Hak Yeon benar-benar merindukannya.

“Ah, Hak Yeon-ssi, sekarang pukul berapa?” Kepala Seung Hee mendongak, mendapati langit yang mulai gelap. “Kita sudah mengobrol terlalu lama.”

Pemuda bermarga Cha itu melirik lingkaran jam di tangannya. “Masih pukul empat sore, Seung Hee-ya. Belum ada satu jam sejak kedatanganku.”

“Berarti … sebentar lagi akan turun hujan.”

“Kita harus kembali ke kamarmu.” Hak Yeon bangkit, memanggul ranselnya dan lantas mendorong kursi roda Seung Hee. Ditinggalkannya taman itu secepat mungkin.

Oh Seung Hee tidak suka bau hujan.

“Hei, semestinya tak usah buru-buru,” tukas Seung Hee ketika mereka telah memasuki koridor rumah sakit yang lengang. “Sudah lama sekali aku tidak melihat hujan. Rasanya rindu.”

Hak Yeon bergeming. Teringat akan keberadaan jendela di kamar 202, diboyongnya gadis itu sesegera yang ia bisa. Dengan lapisan kaca tebal yang membatasi mereka dengan dunia luar, Seung Hee dapat menikmati hujan tanpa harus repot-repot menutup hidung.

“Terima kasih,” ucap Seung Hee begitu Hak Yeon berhasil mendudukkannya di ranjang. “Lagi-lagi aku menyusahkanmu, Hak Yeon-ssi. Kau boleh pulang sekarang.”

“Masih ada satu jam lagi sebelum waktu besuk berakhir.” Hak Yeon menyibak tirai sewarna langit yang menutupi pemandangan luar, baru kemudian menarik kursi dan duduk di sebelah kasur Seung Hee. “Omong-omong, aku punya satu hadiah lagi untukmu.”

Satu kotak tipis berpita merah dari Hak Yeon kini membuat Seung Hee kebingungan. “Apa ini? Catatan ingatanku?”

“Mini album terbaru grup idolamu,” ralat pemuda berkulit gelap itu. Seung Hee yang penasaran segera merobek kertas bermotif hati yang melapisi hadiahnya. “Maaf, sampul plastiknya sudah kubuka lebih dulu. Aku hanya ingin memastikan photo card yang kau dapat adalah member favoritmu.”

Lebih tepatnya, laki-laki yang kausukai, lanjut Hak Yeon dalam hati.

“Bagaimana? Dia tampan seperti biasanya ‘kan?” Hak Yeon mencoba melenyapkan sunyi di antara mereka. Respons yang diberikan Seung Hee hanya sebatas lekukan kening. Oh, bagaimana bisa Oh Seung Hee melupakan grup idola yang setengah mati dipujanya?

“Kau bilang aku mengidolakannya?”

Cha Hak Yeon mengangguk begitu cepat, sampai kepalanya terasa pening.

“Yang benar saja!” Seung Hee memekik, lalu mengangkat lembaran foto itu agar sejajar dengan wajah Hak Yeon. “Bahkan kau yang bukan idola pun lebih tampan darinya!”

Remember?Where stories live. Discover now