Bagian 1

3.4K 423 38
                                    

"Aku memiliki masa lalu yang kelam. Namun, bukan berarti aku tidak bisa berubah. Tujuanku sekarang adalah mengubah kesalahan menjadi kebenaran."

- Khairyah Hafisyah Asady -

💚💚💚

Namaku Khairyah Hafisyah Asady. Kalian bisa memanggilku Khairyah atau Khair saja. Aku anak bungsu keluarga Asady. Anak sulung adalah Bang Shaka. Lengkapnya, Arshaka Antarun Asady. Lupakan tentangnya, kembali lagi saja ke aku.

Saat ini, aku menginjak kelas XII. Ya, ini adalah tahun terakhirku bersekolah. Setelah itu aku akan pergi ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak ada cita-cita khusus, aku hanya ingin menuntut ilmu. Tidak lebih dan tidak kurang.

Jika tidak percaya, kalian bisa bertanya pada Allah. Dia itu Maha Mengetahui. Dia tahu apa yang tidak kalian tahu. Jadi, tanya saja padanya.

"Khair, besok rapat jam berapa?" tanya temanku yang bernama Rima. Sebenarnya hanya teman sekelas, sih. Karena aku memang selalu sendirian. Tidak ada yang berteman denganku secara mendalam.

"Habis Ashar," jawabku.

Rima mengangguk dan pergi ke tempat duduknya. Jika kalian ingin tahu kami ingin rapat apa, maka akan aku jawab. Kami ingin rapat untuk acara amal yang akan diadakan tidak lama lagi. Aku tidak bisa menjawab tanggal pastinya, karena kami belum rapat dan memutuskan tanggalnya.

Jika kalian ingin tahu komunitasnya, ini bukan komunitas. Ini adalah organisasi rohis. Namanya BINTALIS, kepanjangannya Bina Mental Islam. Garis besarnya, kalian pasti sudah tahu. Karena organisasi seperti ini juga sudah tersebar luas.

"Khair, dipanggil Adam."

Pemberitahuan barusan membuat aktivitasku yang ingin membaca buku langsung sirna. Adam. Ketua BINTALIS. Dia seorang laki-laki, bertubuh tinggi, berwajah tampan, dan berekspresi datar. Dia populer, tapi bagiku dia sedikit menyebalkan. Karena kepadaku dia benar-benar irit bicara. Semua dilakukan pakai ekspresi.

Sampai pernah waktu itu, saat rapat tepatnya, ia memakai ekspresinya yang datar itu sebagai bentuk jawaban. Karena yang lain tidak mengerti maksudnya, terpaksa aku yang harus mewakilkannya. Jika kalian tanya dari mana aku mengetahui jawabannya, maka dari kedipan matanya. Saat rapat, dulu tanpa sadar aku selalu memperhatikan kebiasannya.

Jika berkedip sekali, maka setuju. Jika berkedip dua kali dalam kejedaan yang sedikit lama, maka dia masih bimbang. Jika berkedip tiga kali secara cepat, maka jawabannya adalah sebuah penolakan.

Aku sadar kalau aku hebat, dan aku bangga. Jadi, kalian harus bangga juga. Ah, sampai sini dulu, aku tadi dipanggil, 'kan? Jadi, sekarang aku sudah berada di hadapannya.

"Assalamu'alaikum," sapaku pada dirinya yang sedang menunduk.

Aku yakin seratus persen, dia tidak sedang muroja'ah atau menghafal sesuatu, melainkan sedang tidur.

"Assalamu'alaikum!" sapaku lebih keras.

Akhirnya, dia menaikkan pandangannya sebentar. Kemudian beralih ke arah lainnya. "Wa'alaikumussalam," balasnya.

"Kenapa manggil?" tanyaku kepo.

"Bendahara belum datang?" tanyanya balik.

Catatan Khairyah [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang