Mataku dan mata Felix saling bertemu, ada keterkejutan di dalam bola matanya. Aku hanya bisa diam tanpa mengatakan apa pun. Sebuah pertemuan yang membuatku merasa seperti dipermainkan.

"Icha!" Aku mengerjap saat Romi menepuk punggung tanganku. Aku menatap Romi yang ternyata berdiri di dekatku. "Mau makan apa?" tanya Romi kemudian.

Aku menarik napas pelan dan berkata, "Rekomendasi dari kamu aja Mas."

Romi memanggil salah seorang pelayan, dia menyebutkan pesanan dan baru kemudian dia menarik kursi di depanku. Aku melihat Felix dari ekor mataku, ternyata dia tidak sendirian. Felix bersama dengan Leta.

"Kamu mau foto di mana?" Romi membuka pertanyaan pertama kali. Sejak kemarin, aku dan Romi belum menentukan ingin melakukan sesi foto di mana dan konsep yang bagaimana. Karena aku ingin sekali melewati bagian ini.

"Pilih undangan dulu deh, kemarin mau warnanya yang gimana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku mengeluarkan ponselku, menunjukkan katalog digital sebuah percetakan.

Aku memperlihatkan beberapa undangan dengan model dan warna yang cantik-cantik. Memikirkan bukan namaku dan nama Felix yang tertera, aku justru semakin tidak bersemangat. Aku sendiri tidak yakin dapat melewati hari-hariku bersama Romi.

"Bagaimana dengan warna silver? Terlihat lebih mewah dan juga lebih elegan," saran Romi.

Ketika memperhatikan Romi, aku menjadi merasa seperti perempuan jahat. Ini sama saja dengan aku membohongi Romi. Menerima pernikahan ini tanpa ada rasa tertarik padanya. Beberapa tahun ini aku dan Romi jarang bertemu, dia sibuk dengan bisnisnya dan aku sibuk dengan rasa menyesal dan patah hati.

Aku menoleh pada Felix yang ternyata juga sedang memperhatikanku. Aku tidak bisa menebak isi kepala Felix, sorot matanya yang tajam tidak menggambarkan apa pun untukku.

"Kamu kenal dengan mereka Rom?" tanyaku pada Romi sambil memberikan kode lirikan mata ke meja sebelah.

"Kebetulan ada acara festival di akhir tahun ini, mereka salah satu perusahaan sponsor dan sedang mengajak beberapa restoran lokal untuk bekerjasama. Menyediakan konsumsi gitu," jelas Romi. Aku hanya menganggukkan kepala beberapa kali. "Kamu kenal mereka?" tanya Romi kemudian.

"Enggak kenal," jawabku.

Entah meja sebelah mendengar atau tidak, yang jelas firasatku mengatakan lebih baik Romi tidak tahu soal aku dan Felix. Aku akan menceritakan semuanya nanti, saat waktunya tepat.

💌💌💌

Aku dan Romi sudah selesai memilih undangan dan bahkan membicarakan mengenai makanan yang akan disediakan. Sudah jelas, Romi sendiri yang akan turun tangan untuk bagian konsumsi.

Saat aku berdiri dan akan berpisah dengan Romi, seseorang menghampiri aku dan Romi. Pria paruh baya yang terlihat mengenali Romi, bapak itu menyapa Romi dengan ramah. Begitu pula dengan Romi.

"Kenalkan Pak, ini calon istri saya," tutur Romi memperkenalkanku dengan si bapak.

Aku menganggukkan kepalaku dan menjabat tangan seraya berkata, "Zemira Trisha."

"Gunawan, saya guru SMA Romi," tutur Si Bapak yang ternyata merupakan guru Romi.

Aku tidak menganggu pembicaraan Romi dan gurunya, menunggu dengan sabar mereka selesai berbincang. Bagaimana pun, aku harus menghormati Romi. Berpamitan dengan baik, tidak pergi begitu saja.

"Mas ... aku harus segera ke kios. Kasihan Nila sendirian," tuturku pada Romi saat melihat tidak ada cela untuk mereka berhenti mengobrol dalam waktu singkat.

Romi menoleh padaku, dia menganggukkan kepalanya. "Hati-hati di jalan, jika sudah sampai kios kabari aku," ucap Romi.

Aku meninggalkan Romi dan Pak Gunawan, berjalan tiga langkah dan aku justru menemukan Felix berdiri tidak jauh dari posisi aku, Romi dan Pak Gunawan tadi. Sepertinya dia mendengar pembicaraan kami.

"Zem, bukannya lo bilang nggak mau dinikahin? Bukannya lo kabur dari rumah?" tanya Felix yang berdiri satu langkah di depanku. Suaranya terdengar datar dan tidak ada emosi sama sekali.

Aku memaksakan seulas senyum tipis. "Setiap orang bisa mengubah keputusannya. Termasuk gue," sahutku pelan.

Aku melewati Felix dengan berusaha untuk tidak menangis. Aku sudah membuat keputusan sejak lama, sudah seharusnya aku tidak mengubah keputusan begitu saja.

Tanganku tiba-tiba ditahan Felix. Aku tidak menoleh sedikit pun dan melepaskan genggamannya di tanganku. Saat ini yang aku rasakan benar-benar kehilangan. Aku mendorong Felix untuk menjauh dariku.

Aku kira, Felix akan menyerah begitu saja. Aku salah, dia mengejarku hingga ke luar restoran. Berdiri di hadapanku dan berkata, "Apa hubungan kita benar-benar berakhir seperti ini Zem?"

Tuhan, apa yang harus aku katakan padanya?

💌💌💌

Maaf ya kalau aku lama updatenya, aku bener-bener sedang sibuk belakangan ini. Mohon pengertiannya ya :)

Selamat membaca dan jangan lupa untuk diramaikan. Kalau nggak ramai aku lebih malas lagi updatenya hihihi

 Kalau nggak ramai aku lebih malas lagi updatenya hihihi

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.
Rumah Mantan (Selesai)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum