"Setiap hari gitu?"

"Apanya?" sahut Asma tanpa menoleh.

Gandhi berdecak. "Ditanya masnya malah sibuk sama gawainya. Lagi ngapain sih?"

"Lagi cari info volunteer, Mas," sahut Asma.

"Kalau di rumah umi emang susah dikasih tahu?" Gandhi bertanya dengan pelan. Lalu gadis yang mengenakan pashmina hitam itu mendongak. Matanya menatap umi yang juga menatap mereka.

"Kayaknya enak ngomong di luar deh, Mas. Biar umi nggak nguping," bisik Asma kembali.

Gandhi lalu mengangguk. Ia juga membiarkan sang umi untuk beristirahat terlebih dahulu.

"Kalian mau kemana?" tanya umi ketika melihat kedua anaknya itu bangkit dari duduknya.

"Mau ke depan, Umi. Cari angin," jawab Asma.

Umi tak menjawab. Lalu mereka berdua keluar dan berpapasan dengan abah yang tampaknya hendak masuk.

"Umi jaga ya, Bah," ucap Asma.

"Mau kemana?"

"Keluar angin bareng Mas Gandhi," jawab gadis itu.

"Jangan lama-lama," peringat abah dan mereka berdua mengangguk.

"Iya Abah. Lagian kita cuma duduk di depan sini aja."

Abah langsung masuk dan mereka duduk di depan kamar inap umi. Mereka berdua duduk bersebelahan.

"Beneran umi sakitnya gara-gara telat makan sama kecapekan?"

Asma mengangguk. "Iya, Mas. Kayak nggak tahu umi itu gimana. Abah aja nyerah kalau umi udah keras kepala."

"Di rumah sering ribut juga?" Asma mengangguk.

"Kemarin ributin kucing tetangga. Kadang ngomel kalau abah pergi tenis lapangan bareng bapak-bapak RT. Nggak tahu lagi deh. Umi makin tua, makin menjadi."

"Sttt, kamu nggak boleh begitu," sela Gandhi. Sedangkan Asma langsung tersenyum konyol.

"Umi suruh di rumah aja. Jangan ke pasar kalau nggak sehat bener. Cari karyawan baru biar umi nggak turun langsung."

"Mas, harusnya Mas tahu. Umi bukan tipe emak yang mau diam di rumah. Kalau di rumah pun pasti ribut sendiri. Kalau nggak bersih-bersih rumah ya pergi ke selepan gabah. Mana mau diam di rumah. Makanya abah biarin di pasar. Di pasar pun banyak temen-temen umi yang jadi teman ngobrolnya. Di rumah? Cuma ada abah doang yang lebih milih ke rumah jagal. Asma kuliah, mbak Ghania di rumah suaminya. Otomatis umi nggak ada temannya."

Ghandi terdiam. Memang kedua orang tuanya bukan dari kalangan pegawai negeri. Namun mereka masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Umi yang punya usaha toko kain di Klewer dan abah yang punya usaha rumah potong masih sering memantau sendiri usahanya. Jadinya rumah sering kosong. Umi pun disuruh berhenti juga tidak mau karena rumah sepi dan tak ada temannya. Inilah dilema orang tua ketika anak sudah dewasa dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Walaupun punya anak banyak, tetapi rumah sepi.

"Asma kadang kasihan. Mereka harusnya di rumah. Tapi karena sepi akhirnya milih kerja. Makanya Mas cepet nikah punya istri punya anak biar umi ada temennya."

"Mas nikah pun pasti ikut mas, Ma. Yang bisa buat mereka di rumah ya harus ada yang jadi kesibukan mereka di rumah. Kenapa Ghania nggak suruh di rumah umi aja?"

"Kayaknya nanti mbak Ghania kalau udah ngelahirin bakal di rumah, Mas. Tapi nggak tahu. Asma juga bingung."

Gandhi terkekeh pelan. Lalu ia mengusap kepala sang bungsu.

Aksara Dan SuaraDonde viven las historias. Descúbrelo ahora