"Kamu tenang, Ras! Aku akan mencari tahu. Kau tahu ... Arata pasti baik-baik saja!" seru Dimas dengan suara bergetar.

Setelah menutup sambungan telepon dengan Dimas, kulajukan motor menuju toko Bang Yos. Berharap ada jalan keluar dari pria yang paling dekat dengan Ara.

"Itu pilihan Ara, jika ... dia mau kembali kesana. Aku tidak punya hak untuk melarangnya," ucap Bang Yos, saat aku memberitahunya kejadian tadi.

"Ta--tapi, Bang, Ara terpaksa mengikuti mereka. Karena mereka mengancam akan menyentuhku," jelasku pelan, berharap Bang Yos menghentikan niat Arata.

Tangan Bang Yos berhenti menyirami tanaman di depannya, menghela nafas pelan.

"Ara sudah besar, sudah bisa berpikir mana yang baik dan buruk. Itu juga alasan dia pergi dari sana. Aku juga enggak bisa berbuat apa-apa, Ras. Mereka wali Arata yang sah, sedangkan aku bukan siapa-siapa," ujar Bang Yos nanar membuat hatiku berdenyut nyeri.

"Aku berharap mereka memperlakukan Arata dengan baik disana!" lirih terdengar dari mulut Bang Yos membuatku terdiam.

⚛⚛⚛


Berhari-hari Arata seakan hilang ditelan bumi, tidak ada yang mengetahui keadaannya. Bahkan Dimas yang notaben paling dekat dengannya, juga tak pernah melihat Arata keluar dari kediaman sang ayah.

"Gimana, Dim? Ada hasil? Kondisi Ara gimana?" tanyaku pada Dimas.

Dimas menggeleng lesu, kemudian berkata, "boro-boro ketemu Arata, baru sampai halaman sudah dilempar botol minuman."

Aku terdiam, khawatir kembali menggelayuti hati. Nanar kupandangi bangku Arata yang kosong. Apa yang terjadi padamu, Ara?

Sejak hari itu, hp Ara tak pernah aktif, Membuatku semakin gelisah. Bang Yos sendiri, terlihat sering melamun dengan raut wajah khawatir. Sesekali terdengar hela nafas Bang Yos saat memandangi kebun bunga.

"Apa enggak ada yang bisa kita lakukan?" tanyaku pada Dimas dengan putua asa.

Dimas menggeleng, membuatku semakin frustasi.

"Tenanglah, Ras! Enggak ada yang bisa kita lakukan dengan pikiran kalut," ucap Wanda mengelus tanganku.

Yang dikatakan Wanda ada benarnya, tidak akan ada hasil jika aku terus panik seperti sekarang.

Beberapa kali, aku merasakan nyeri di hati, sesak seakan tak bisa bernafas. Firasatku mengatakan ada sesuatu terjadi pada Ara.

Sejak kepergiannya, sesak ini semakin menjadi. Membuatku tak bisa berfikir jernih.

"Bapak!" pekikku mengagetkan kedua sahabatku.

"Mungkin bapak bisa membantu. Beliau kan polisi." Secercah harapan memenuhi hati.

Bergegas aku pergi mengabaikan teriakan Dimas dan Wanda.

"Masih jam sekolah, Ras!"

Kulajukan motor menuju kantor tempat bapak bertugas. Gedung bertingkat dua berwarna coklat menyambut kedatanganku

"Pak, tolong temani Rasti menemui Ara! Rasti khawatir dengan keadaannya" pintaku pada bapak, setiba di ruang kerjanya, mengejutkannya.

"Dia bersama keluarganya, Ras. Bisa saja dia sedang mencuri atau apalah yang dilakukan keluarganya," ucap Bapak pelan, masih fokus dengan berkas-berkas di meja.

"Ara enggak sama dengan keluarganya, Pak!" protesku kesal

"Ara enggak mau hidup seperti ayahnya, kemarin juga dia dipaksa buat kembali kesana. Ayolah Pak, temani Rasti!" lanjutku kesal.

Hingga Akhir WaktuWhere stories live. Discover now