Berjalan Kaki

30 28 0
                                    

"Naik apa? Motor sudah enggak ada," tanyaku, melihat sekitar tak kutemui kendaraan yang digunakan Arata.

Arata menatapku tajam, melangkah maju mendekati tubuhku. Sontak aku mundur perlahan, dadaku semakin berdegup kencang tatkala tubuhnya semakin mendekat.

Tanpa kata ia menunjuk kakinya kemudian melangkah meninggalkanku. Aku merengut kesal, mengikuti langkah lebar Arata dengan menhentakan kaki.

(Assalamualaikum Bunda, Rasti pulang telat. Motor Rasti mogok dijalan.)

Setelah mengirim pesan pada bunda, aku segera mengejar Arata.

"Haai, Ara, tunggu!" teriakku padanya, dia berhenti menatapku dengan pandangan menusuk.

"Ara?" tanyanya dengan intonasi suara tidak setuju.

Aku menggaruk daguku yang tidak gatal, sejenak pandangan kami bersirobok. Aku terpana menatap mata tajam yang seakan ingin mengulitiku hidup-hidup.

"Arata terlalu panjang," jelasku padanya, mengalihkan mata dari wajah tampannya. "Kalau kupanggil 'Rata' kan lucu, tetapi jika Ara lebih indah didengar."

"Kamu tahu, Ara nama cewek. Dan aku bukan cewek!" tegasnya dengan pandangan tak suka.

"Nama Ara cocok untukmu, apa kamu tidak tahu," bantahku tersenyun.

"Cocok jika aku perempuan, dan aku bukan perempuan, Nona. Kenapa tidak kamu panggil Arata saja seperti yang lain?" protesnya.

"Siapa yang lain? Setahuku kamu tidak punya teman lain selain dimas. Atau aku salah?" tanyaku padanya dengan menatap mata Arata.

Arata menatapku dengan kesal, lalu berbalik melangkah menjauh.

"Terserahlah!" tukasnya jengkel tak menghiraukanku lagi.

Aku tersenyum penuh kemenangan, mengikuti langkah panjang Arata. Menikmati momen-momen kami bersama seperti ini.

"Ara, aku haus! Ayo cari minum dulu!" pintaku padanya, setelah 40 menit berjalan.

Arata tidak menggubrisku, terus berjalan tidak menoleh kebelakang.

"ARA TUNGGU!" teriakku kesal karena ditinggal oleh pemuda tersebut.

Dasar pria enggak peka! Jalan sejauh ini ditengah cuaca panas membuat haus. Apalagi jarak rumah masih jauh, kuhentakan kakiku dengan keras. Menghempaskan bokong di pinggir jalan. Merasakan silir angin yang membelai kulit.

Kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi singa aku  tersentak, sebotol minuman dingin menempel di pipi. Teryata Arata pergi untuk membeli minuman untukku.

"Bilang dong kalau belikan minum, bukannya nyelonong tanpa kata," omelku pada Arata, kutegak minuman tersebut. Terasa segar di tenggorokan, apalagi di cuaca sepanas ini.

Arata hanya diam tanpa kata mengawasiku yang merengut, tak ada ekspresi di wajah tampannya.

"Kenapa kamu enggak pernah menghiraukanku, saat di sekolah, Ara?" tanyaku penasaran, berdiri, membersihkan debu di rok, melangkah melanjutkan perjalanan pulang, setelah beristirahat sejenak.

Sepanjang mata memandang, tampak sawah terbentang . Di kejauhan terlihat gunung menjulang tinggi menambah keindahan alam.

Hening, kutolehkan kepala melihat Arata belum beranjak dari tempatnya berdiri. Menatapku dengan pandangan menelisik, membuatku salah tingkah dibuatnya.

"Aku tahu, aku cantik. Bisa jatuh cinta nanti, kalau kamu terus memandangiku," ucapku pelan sontak membuat Arata mengalihkan pandangannya membuatku terkekeh.

Hingga Akhir WaktuWo Geschichten leben. Entdecke jetzt