Merasa - Fabiola Wingardi

41 0 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Asin? Manis? Asam?, atau Pahit?

Andai mendefinisikan rasa dalam hidup bisa sesederhana empat kata ini. Sayangnya, hati kadang gak bisa (dan ga akan pernah) sejujur lidah. Makanan yang asin mostly akan sama asin ketika sampai di lidah orang lainnya, begitu juga dengan rasa-rasa lain..

Berbeda dengan hati, apalagi kalau lo lagi mengidap penyakit paling berbahaya (menurut gue) seperti yang gue punya dalam hidup ini:

kebiasaan menolak dan memanipulasi rasa dalam diri sendiri
I know it sounds a lil bit pathetic.

Yang terkadang pahit, gue paksa untuk jadi manis.
Selalu Seringnya begitu.

Why?

Well, let me tell you a story.

Gue mulai dengan sebuah argumen, bahwa gak ada manusia satupun yang gak pernah punya "hari buruk" selama hidupnya.

All humans do.

We all do.

And (of course) I do.

Dan untuk menyelamatkan diri dari dari pusaran itu, masing-masing orang pasti punya cara dan trik tersendiri untuk mengobati dan mengatasi─pun dengan lama waktu yang mereka butuhkan untuk hal itu. Layaknya proses pengobatan atau penyembuhan secara medis, tentunya untuk menemukan obat yang tepat, dibutuhkan pula diagnosis penyakit yang tepat.

Maksud dari diagnosis yang tepat adalah keadaan diri dan hati bisa saling berkoordinasi untuk menyadari dan mengakui suasana hati yang sesungguhnya.

Just feel it and admit it at least to yourself.

Gue percaya kalau setiap rasa harus benar-benar mampu di-RASA. Singkatnya, sebut aja aktivitas yang menambah koleksi amigdala lo ini sebagai "me-rasa" (merasakan). Seperti "dengar" dan "mendengar" yang memiliki dua makna jauh berbeda, kadang tahap tersulitnya bukanlah sekadar tahu jenis rasa, tapi mampu merasa; mampu mengenal, mengerti, menghadapi, dan akhirnya mampu menanganinya.

Berani merasa itu menurut gue adalah proses menghargai diri kita sendiri sebagai manusia, yang nano-nano-jenisnya itu harusnya bisa dihargai dan di apresiasi. And write down all the things & feelings adalah cara gue "merasa"; jujur dan mengapresiasi diri sendiri.

Dua puluh dua tahun hidup jadi diri gue gak mudah. Gue yakin semua orang pun begitu, tapi kadang selalu terlihat (iya aminkan saja) "mudah" di mata sebagian orang. Inilah yang jadi cikal bakal tumbuhnya "penyakit berbahaya" itu.

(Fyi: Mudah dalam hidup = gak pernah ngalamin masalah serius dalam hidupnya)

Sesuai dengan koleksi respons emosi yang ada di amigdala manusia, Kalau teman-teman gue di luar sana punya trauma naik motor karena pernah jatuh, takut untuk mulai berkomitmen karena pernah dikhianati pasangannya, sampai ada yang takut kecoa karena..(ya gue rasa beberapa dari kita gak butuh alasan untuk yang satu ini), tapi trauma yang gue punya adalah takut mengakui sisi rapuh diri sendiri.

Takut untuk mengakui bahwa keadaan hati saat ini sedang kurang baik, butuh rehat, dan sedang tidak sanggup memenuhi ekspektasi orang-orang di luar sana karena ada stigma "mudah dalam hidup" yang melekat luar biasa di "kemasan" diri ini.

"Ya jujur aja, susah amat"

Ini salah satu respons kejam yang gue harap gak akan lagi muncul ketika gue, atau kalian di luar sana sedang ada di posisi yang sama.

Berbagi tentang hal dan kejadian hidup yang lo rasakan itu memang gak salah, tapi juga gak selalu jadi cara yang paling tepat untuk meredakan permasalahan.

Titik terlucu menurut gue adalah ketika arah wacana itu berbelok jadi ajang "aku vs kamu". Tahap ketika obrolan dan sesi berbagai malah akhirnya jadi ajang kompetisi timbang-menimbang beban hidup satu sama lain. Bukannya melegakan, malah menambah kelelahan, kan? And thats traumatic. Sampai pada masa gue merasa tidak pantas untuk merasa lemah, I start the denial for every "bad" part of my life. I am manipulating and bottling up my feelings. i can't barely be honest with myself. Sampai satu saat bendungan di amigdala gue mengeluarkan sejuta respons emosi negatifnya, i cried, a lot.

Ternyata, menangis itu melegakan, ya? It feels like detox..

Lewat proses itu, gue belajar bahwa gak ada hidup yang mudah di dunia ini. Everybody is facing their own kind of war─yang entah akhirnya manis, pahit, atau lainnya. Dan di sini hasil paling besar dari proses "merasa" muncul; perasaan bersyukur.

Gue pikir hidup ini terlalu singkat untuk dijalani dengan gak jadi diri lo sendiri. Berhasil menerima kekurangan dan ketidaksempurnaan menurut gue adalah sebuah kemenangan. Mengakui bahwa Kita gak selamanya seperti apa yang orang-orang ekspektasikan. Life is equal parts of every "taste", every feeling. And that makes me "me" and makes you "you". All we had to do is just let them exist, admit it, and face it.

Anyway, Life must be Umami, right? 

Suara dari Manzil: Handai TolanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang