Bangkit dari Hubungan "Sakit" - Pejalan Kaki

73 1 0
                                    

Apa kamu percaya bahwa rasa cinta tidak selalu membawa kita pada hal yang indah-indah? Aku iya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apa kamu percaya bahwa rasa cinta tidak selalu membawa kita pada hal yang indah-indah? Aku iya.

Cinta bertepuk sebelah tangan, misalnya. Anggap saja ada dua sahabat yang setiap harinya bercengkerama. Kemudian, sang cowok mulai menatap mata si cewek. Lalu si cowok menelan ludah, mengetahui bahwa ia mengagumi sahabatnya. Sayangnya, waktu hari kejujuran tiba, sang cewek lantas menolaknya dengan alasan, "Kita cuma teman, sampai kapanpun cuma teman."

Plot sederhana itu sudah sering kita jumpai di banyak serial drama. Meski akhirnya bahagia, tapi siapa yang nggak nangis jika digampar fakta bahwa orang yang mereka cinta nggak akan pernah membalas dengan rasa yang sama? Sebagai hiburan, biar ku sisipkan sebuah pesan: paling tidak, kamu tahu bahwa dia tidak akan membuka hati. Tandanya, daripada menunggu sampai pagi di depan "pintu"-nya, lebih baik kamu bergegas pergi.

Ya, itu baru satu dari ribuan kisah lainnya yang membuktikan betapa kejamnya jatuh cinta. Sedikit banyak, aku mulai paham apa yang dikatakan oleh pamanku saat melarangku pacaran waktu masih kelas 2 SMP, "Jatuh cinta itu butuh keberanian."

Keberanian untuk menaruh harapan yang ujungnya berakhir pada kekecewaan.

Keberanian merelakan banyak hal karena percaya dia adalah "the one".

Keberanian memberikan kasih sayang, meski dia lebih nyaman sama selingkuhan.

Keberanian untuk menaruh perasaan dan mengetahui dari awal bahwa semuanya akan bertepuk sebelah tangan.

Dan banyak keberanian lain serta resikonya yang jika aku sebutkan, bakal lebih panjang dari daftar belanja bulanan. Kalau kamu punya keberanianmu sendiri, coba disebutkan dalam hati. Nanti aku puji dari sini :)

Ngomong-ngomong, kamu nggak nanya soal ini, sih. Namun, empat hal yang aku sebutkan di atas itu adalah empat keberanian yang pernah aku lakukan dan mungkin enggan untuk ku lakukan lagi sampai entah kapan.

Tiga setengah tahun lalu, saat liburan musim panas menuju kuliah tiba, aku bergabung ke salah satu organisasi yang mendukung minat dan bakatku. Tidak perlu disebut, karena.. biarkan aku jadi misterius sekali seumur hidup, oke?

Di salah satu aktivitas organisasi tersebut, aku bertemu dengannya. Seperti normalnya sebuah pertemuan, kami kenalan, bertukar Instagram, lalu follow-followan. Sejak saat itu, ia hobi membalas IG story, sampai suatu hari mulai sering ngajak ketemuan, makan, pegangan tangan, dan akhirnya pacaran.

Karena baru kali pertama, aku merasa banyak momen yang bikin aku buka mata, "Oh ternyata begini.." "Ah, aku baru ngerti, pacaran di kuliahan tuh begini.." "Oh, gampang lah kalau begini doang." Dengan kata lain, aku menyepelekan segala hal tentang berhubungan.

Kala itu, aku tidak mengerti bahwa ada yang namanya percaya, jujur, komitmen, dan sebagainya yang wajib ada untuk jadi bahan suksesnya sebuah hubungan. Aku hanya paham kalau sudah bertanya "Lagi ngapain? Udah makan?" artinya aku sudah cukup perhatian.

Untungnya, pemahaman itu segera berakhir karena suatu ketika aku mengintip handphone-nya dengan pesan masuk di bagian beranda handphone bertuliskan, "Sayang, hari ini kita jadi nonton kan?"

Tidak, aku tidak murka, melainkan introspeksi diri. Aku berpikir apakah aku mengetik pesan ini di kondisi sedang mabuk ayam? Ternyata tidak, aku sama sekali tidak pernah mengetik pesan itu dan yang paling penting, aku juga tidak habis makan ayam.

Akhirnya, aku sadar bahwa ia sedang selingkuh. Lagu Sephia dari Sheila on 7 seketika berputar di kepalaku, diikuti lirik lagu dari Matta Band, "Kamu ketahuaaaan pacaran lagi" Jika ditanya perasaanku seperti apa, hanya tembang dari alm. Olga Syahputra yang bisa menjawab karena hatiku hancur.

Langsung putus? Oh tidak mungkin. Ternyata selingkuhnya nggak cukup sekali, lima kali. Siklusnya pun sama, berawal dari iseng buka ponselnya, melihat ada banyak wanita di room chatnya, terlacak bahwa ada satu wanita yang terus-menerus mengontak dirinya, lalu ku ajak ketemuan dekat parkiran, kemudian ia diam saja karena menurutnya yang salah adalah aku karena telah membobol privasinya.

Alhasil, setiap ia tertangkap selingkuh, aku yang minta maaf. Bahkan, salah satu dari mereka pernah menghubungiku, berkata dengan kasualnya, "Sebenarnya, dia mau putusin kamu. Kamu orangnya suicidal, jadi dia takut kalau mutusin kamu malah bikin kamu ngelakuin hal yang engga-engga."

Padahal, yang aku lakuin selama ini cuma iya-iya. Iya-in dia buat terus-terusan bikin aku merasa bersalah. Iya-in dia buat terus selingkuh dengan nyamannya dan menumpahkan kesalahannya ke aku.

Karena sudah masuk ke lima kalinya ia selingkuh, aku memberanikan diri untuk mengajukan perang dingin. Aku diamkan dirinya selama seminggu, lalu aku bertanya apakah dirinya masih mau lanjut atau berhenti. Jawabannya, tidak sanggup lagi berhubungan denganku, baginya sudah tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.

Menjadi "mpok Indun" (mpok yang hobi ngomong "Maap.. Saya nggak maksud.." di serial sitkom Bajaj Bajuri) selama 2 tahun lebih telah membangunkanku pada satu fakta. Aku bisa sekeras itu untuk bertahan karena mengabaikan perasaanku sendiri, tidak mendengarkan suara hati, dan meyakini harapan kosong kalau dirinya akan berubah suatu saat nanti.

Tidak pernah menyangka bahwa keberanian yang sempat aku banggakan itu ternyata membawaku pada setiap risikonya. Menyesal dan merasa buang-buang waktu? Tentu saja! Namun, dua tahun adalah waktu yang cukup untuk belajar bahwa memulai sebuah hubungan dengan orang lain tidak cukup sekadar nekat dan berani, tapi dimulai dengan merawat hubungan yang baik bersama diri sendiri. Bukan karena egois, tapi agar kita mengerti hati ini mau bertahan atau berhenti.

Layaknya ending di takarir sosial media mengenai kesan dan pesan terhadap seseorang, aku juga ingin sampaikan, terima kasih dua tahunnya.

Suara dari Manzil: Handai TolanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang