Kisah mereka

30 1 0
                                    

Sang fajar telah hadir kembali. Dengan terangnya dapat membuat banyak wajah tersenyum dan memberikan semangat bagi semua orang. Nyanyian burung-burung kecil selalu terdengar bagai alarm yang tak membutuhkan baterai sebagai makanannya.

Kampung pojok , begitulah sebutan masyarakat, terletak disebuah daerah kecil yang berbatasan dengan kampung sebelah klampisan. Memang unik nama kampung ini, begitu pula dengan artinya "ujung". Jawa memang dikenal akan keunikan ragamnya hinggal nama-nama yang digunakan.

"Nduk , tolong antarkan tumpang pesanan bu lurah ini ke rumahnya" ujar seorang wanita paruh baya yang mengenakan kebaya biru muda dengan jarik motif kawung yang menjadi pakaian sehari-hari wanita jawa zaman dulu , namun tetap dilestarikan hingga kini olehnya.

"Nggih budhe" sahut gadis 19 tahun yang telah selesai membuat bumbu pecel sebagai teman makan tumpang yang merupakan makanan khas daerah kecil ini, terbuat dari tempe busuk dengan campuran santan dan beberapa bumbu dapur seperti Lombok, brambang, bawang, kencur dan lainnya. Serta beberapa kulupan hijau yang tak tertinggal.

Segera ia berangkat menuju rumah orang terpandang di Pojok ini , rumah terbesar dengan bangunan kokoh terbuat dari kayu jati yang terkenal mahal itu. Dengan beberapa lukisan menggantung di dinding kayu jati dan dua patung wanita bermata lebar sedikit mendelik di pintu masuk menyambut remaja putri itu.

"Assalamu'alaikum , kulo nuwun..." Tak ada jawaban dari dalam bangunan bak Istana itu.
"Apa suaraku ndak sampe terdengar ke dalam ya, atau memang ndak ada orangnya toh ?" Dalam hati ia bertanya-tanya dengan logat medok yang mendominasi.

Setelah beberapa kali ia mengucap salam, terdengarlah derap langkah kaki yang mendekat. Suara itu semakin jelas saja di indera pendengarannya, karena memang hampir semua rumah terbuat dari kayu yang akan menimbulkan bunyi saat dipijak cukup kuat.

"Wa'alaikumsalam, walah kamu toh Ain. Ana apa to nduk ? Ndak biasane kamu kesini pagi-pagi begini" wanita berjilbab lebar dengan tubuh sedikit gemuk namun tak menutupi kecantikan yang katanya warga pojok abadi itu menyahuti didepan pintu sambil tersenyum manis pada sang gadis yang membawa rantang susun berwarna putih itu.

"Niki bu lurah, pesanan panjenengan. Kulo diaturi budhe ngeteraken tumpang" jawabnya sambil menyerahkan rantang.

"Matur nuwun ya cah ayu, kebetulan lagi ada tamu makanya saya pesen tumpangnya pagi sekali sama yu Darmi" memang sudah sering bu lurah pesan tumpang pada yu Darmi yang terkenal enak itu, Entah saat ada acara maupun untuk sehari-hari.

"Oh nggih bu lurah, kalau begitu saya pamit rumiyin bu. Kasihan budhe jaga warung sendirian" pamitnya pada bu lurah

"Iya nduk, hati-hati dijalan ya. Ini ada sedikit rejeki buat kamu sebagai tanda terimakasih" sambil menyerahkan beberapa lembar uang bergambarkan pahlawan asal Papua itu. Memang dikenal sangat dermawan istri Pak Darmaji ini, selain cantik rupanya hatinya pun juga baik.

Langkah kaki itu menyusuri jalanan yang masih tanah penuh dengan batuan kecil yang belum tersentuh aspal dari pemerintah. Senyum manis terukir diwajahnya , dengan bersenandung kecil dapat menutupi kesedihan yang ia rasakan sejak kepergian bapak nya yang merantau ke kota dan dikabarkan meninggal setelah mengalami kecelakaan kerja, dan ibu nya yang meninggal setelah melahirkan dirinya ke dunia ini. Selama itu pula ia dirawat oleh yu Darmi yang tak lain adalah kakak bapak nya.

Sudah dua hari sejak kepulanganya dari rumah bu lurah, sejak itu pula Ain selalu memikirkan ucapan bu lurah.

nduk tunggu dulu, ibu mau minta tolong sama kamu boleh ?”

Minta tolong apa nggih bu lurah ? Tanya Ain yang penasaran akan permintaan bu lurah.

Begini nduk, jadi tamu ibu itu seorang keponakan yang kebetulan lagi liburan ke kampung kita. Namanya Damar, dan ibu mau minta tolong sama kamu buat ajak keponakan ibu melihat-lihat
kampung kita. Bagaimana, kamu biasa kan nduk ?”. Jelas bu lurah dengan suara halus bak alunan musik yang sedang dimainkan.

“Kamu tenang saja nduk, keponakan ibu itu anak nya baik, juga santun nduk" Sela bu lurah saat melihat keraguan di wajah mungil nan ayu di depannya ini.

Nggih bu, besok lusa saya kesini lagi untuk menjemput keponakan ibu”. Jawaban yang Ain berikan pada bu lurah, karena merasak tidak enak jika harus menolak bu lurah yang sudah baik kepadanya.

Sepasang anak adam dan hawa itu terus berjalan menyusuri kampung yang asri ini, Membuat siapa saja terlena dengan suasana kampung yang belum pernah dirasakan saat di kota, dimana panas menusuk ubun-ubun disaat sang surya mulai naik seakan menghukum orang-orang yang mencari sesuap nasi. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya sejak perkenalan tadi pagi,diam seribu bahasa yang mereka lakukan.

Suara aliran sungai seakan-akan memanggil dan menuntun mereka kesana. Hingga tibalah mereka di sungai genuk, airnya yang bersih juga digunakan untuk aktivitas penduduk, biasanya digunakan untuk mengairi sawah-sawah penduduk kampung dan ketika sang surya menyapa akan berkilau bak inten permata.

Mereka duduk diatas sebuah batu hitam legam yang cukup besar, kata pertama yang diucapkan sang arjuna kepada gadis itupun membuat mereka larut dalam sebuah percakapan ringan yang membuat hati keduanya berbungah. Namun hanya senyuman yang dapat ditunjukkan bukan sebuah pengakuan jika mereka telah merasa nyaman satu sama lain.

Seharian mereka bersama seakan tidak akan ada hari esok untuk keduanya bertemu. Hingga sang fajar mulai menyingsing ke arah barat dan memberi tanda bahwa ia telah melaksanakan tugasnya hari ini, dan sudah waktunya ia untuk pulang.

Sang arjuna pun mengajak pujaan hatinya untuk pulang, ia tak ingin
gadisnya dimarahi karena telah menemaninya seharian ini. Di depan pelataran rumah sederhana itu, sang arjuna melihat sang gadis memasuki rumahnya dan sesekali menengok ke belakang sambil tersenyum manis bak madu hutan itu.

Hari berikutnya Damar telah memutuskan untuk menemui sang gadis hari ini.

"Paklik bulik kulo pamit nggih mau jalan-jalan keliling kampung lagi, kemarin belum puas" ijin nya pada adik dan ipar dari ibu nya itu.

"Belum puas lihat kampung apa belum puas jalan-jalan sama Ain ?” goda sang bulik sembari meletakkan kopi buatannya untuk sang suami.

"Tapi eling jalan toh le ? Jangan sampai nyasar, kan ndak lucu wong ganteng kaya kamu bingung jalan" sahut pak Darmaji sang lurah ikut menggoda keponakan nya itu sambil terkekeh.

Pemuda itupun hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dan segera pergi meninggalkan rumah pakliknya itu menuju kediaman sang gadis pemikat hatinya dengan semangat membara bak api yang berkobar.

.
.
.
.
End .

Pojok Asmara Where stories live. Discover now