Pertemuan

7 0 0
                                    

Di waktu yang sama, di sebuah rumah sederhana seorang gadis berusia 17 tahun dengan wajah kuning langsat, bertubuh ramping serta tinggi hendak mengambil air minum di dapur. Ia terkejut saat melihat semua perabotan rumah terjatuh.

Kaca-kaca bergetar hebat kemudian pecah. Lantai yang berguncang membuat gadis berhijab merah itu terjatuh dengan kepala membentur lantai. Namun segera sadar dan berusaha bangkit secepat mungkin untuk membangunkan adiknya, Mehrun Nisa.

Saking paniknya ia menarik lengan adiknya yang masih tertidur pulas. Sepertinya anggota keluarganya terlalu letih hingga tak dapat merasakan adanya gempa itu. Ya, memang seharian ada acara bantu-bantu tetangga yang ada hajatan.

"Mehru! bangun! Cepetan! ada gempa!" Mehru yang matanya masih terpejam seketika panik dan bergegas lari mengikuti kakaknya tanpa berkata apapun.

 Sambil berlari menerobos pintu kamar, mereka berteriak,"Ayah! Ibu! Ada gempa!" Mereka pun terbangun dan segera turun dari tempat tidur.

Mereka berlari keluar, akan tetapi nasib naas menimpa ayah ibunya. Mereka tertimpa reruntuhan atap saat melewati ruang tamu. Zahra dan Mehru berusaha menyingkirkan, namun hasilnya nihil. Itu terlalu berat.

"Zahra, bawa adikmu pergi jauh dari sini!, Selamatkan diri kalian! Cepat, Nak!" perintah wanita itu kepada putrinya sambil menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Nggak, Bu ... Zahra nggak mau pergi tanpa Ayah dan Ibu." Ia berusaha keras menyingkirkan kayu yang berat itu. Namun tetap saja, tidak bisa.

"Pergilah, Nak ... ayah dan ibu senang kalau kalian selamat. Ayah ingin kalian tetap hidup." Wajahnya terlihat sedih, namun masih menyisakan satu harapan yaitu putrinya bisa selamat dari bencana ini.

Atap mulai banyak yang runtuh, dinding rumah pun sama.

"Pergi! Cepat, Nak!" teriak sang ayah.

Zahra semakin panik, seketika menarik lengan adiknya yang hampir saja celaka tertimpa reruntuhan atap. Ia membawa adiknya keluar dengan perasaan sedih. Sesampai di luar rumah ia berteriak keras penuh penyesalan.

"Ayah! Ibu! Maaf ...." tangisan itu pecah seketika. Ia menyelamatkan adiknya, namun harus meninggalkan kedua orang tuanya.

Tidak cukup sampai di situ saja, ia sangat takut dengan keadaan di luar rumah. Angin bertiup kencang, pepohonan tumbang, rumah-rumah banyak yang roboh.

 Ketika ia minta tolong ke salah satu warga untuk menyelamatkan ayah ibunya, mereka menolak karena katanya bisa saja mereka mati tidak bisa menyelamatkan diri, ikut terjebak di dalamnya. Sungguh ia kecewa akan hal itu.

Perasaan kalut dan hancur ia rasakan, namun berusaha tegar dan membawa lari adiknya sejauh mungkin.

Mereka terlihat kuat ketika berlari, karena berlari sudah menjadi rutinitas setiap pagi di lapangan dekat rumahnya sebanyak minimal tiga putaran.

"Kita akan kemana, Kak?" tanya Mehru terdengar serak. Ia juga merasakan kesedihan yang sama dengan kakaknya.

"Kakak juga nggak tau, yang penting kita nyari tempat yang aman dulu, sini! Jangan lepaskan tangan kakak!" Sambil berlari Zahra memegang tangan adiknya, seakan tidak ingin kehilangan lagi.

"Kakak, sekarang kita nggak punya siapa-siapa lagi." Gadis kecil itu semakin tersedu-sedu.
"Nggak usah khawatir, Mehru kan masih punya kakak, kakak bisa kok jagain Mehru."
"Dan satu lagi, Allah selalu jagain kita, nggak akan membiarkan kita terlantar. Kakak percaya itu."

Zahra menoleh ke belakang. Ia panik. Jauh di belakang sana mulai nampak ombak yang bergulung-gulung. Mereka berlari semakin cepat tanpa menoleh ke belakang. Lebih cepat lagi serasa dikejar harimau.

Romantika PesantrenWhere stories live. Discover now