Setelah selesai konsultasi dengan dosen penasehat, Regina menemui Tanzila dan Susie. Mereka berencana makan siang bersama sebelum berangkat ke rumah Jessica.
Saat mereka menuju sebuah resto di kampus, beberapa cowo yang sedang nongkrong di pelataran melambaikan tangan ke arah mereka.
"Hai, Regina," sapa mereka bersamaan dengan senyum manis mengembang. Regina balas melambai sambil tersenyum hangat.
"Hai, semua," katanya ramah.
Regina dikenal ramah dan menghargai orang lain. Dia tidak sungkan menyapa orang terlebih dulu dan menanyakan kabar mereka. Kata orang dulu itu namanya kesopanan, kata orang sekarang itu namanya pencitraan tapi kata ketiga sobatnya itu namanya tebar pesona. Dan dia tidak memprotesnya.
Regina cukup popular di kampusnya. Terutama di kalangan cowo-cowo. Selain dikenal ramah, Regina juga tergolong cantik. Dia dikaruniai mata cokelat, bentuk bibir yang cantik, kulit cokelat eksotis dan rambut hitam legam yang panjang serta bentuk tubuh yang ideal bak super model. Dia memiliki kesempurnaan yang diinginkan teman-temannya – cantik, cerdas dan berkarisma.
"Tumben, hari ini lo pake eye-shadow, Na. Ada acara special nih?" ledek Susie saat mereka duduk menunggu pesanan.
"Nggak ada. Lagi pengen aja," jelas Regina dengan mata tertuju pada ponsel di tangannya. Iseng-iseng dia membrowsing internet. Siapa tahu dia menemukan buku referensi untuk skripsinya.
"Pengen tampil beda di depan Daniel," sela Tanzila melirik Regina dengan menggoda.
"Ah―sok tau nih," kata Regina spontan sambil mendorong bahu Tanzila, sahabatnya terayun dan terjatuh dari bangku. Spontan Susie tertawa. Regina buru-buru menolongnya sambil meminta maaf.
"Gila, Na. Tenaga lo dah kayak banteng," kata Tanzila sambil bangun dan mengibas-ngibas pantat celanannya.
"Emang lo dah pernah diseruduk banteng?" tanya Susie disela tawanya.
"Pernah. Banteng engkong-engkong," sahut Tanzila teringat pada peristiwa ketika dia diseruduk kakek tua dengan sepeda. Waktu itu, Susie dan Tanzila akan pergi ke mall. Ketika sedang menunggu angkot, seorang kakek tua melintas di depan mereka. Karena mata kakek itu sibuk memperhatikan banci di seberang jalan, dia tidak melihat jalan dan menabrak Tanzila.
"Kisah yang tragis yah," kata Susie tertawa cekikikan. Regina ikut-ikutan tertawa.
"Lo tega ya Sus―teman susah―lo malah ketawain. Lo juga, Na," kata Tanzila sambil menunjuk Regina. Tak mau menanggapinya, Regina tetap tertawa geli.
"Maaf, maaf," kata Susie dengan setengah tertawa.
"Sabtu nanti kita kemana, Na? Apa main di tempat biasa saja?" tanya Tanzila. Setiap akhir pekan mereka memiliki jadwal tetap untuk berkumpul. Jika tidak mengunjungi suatu tempat, mereka biasanya nongkrong di De Hooi – Pondok Indah atau di MC cafe Sarinah, Thamrin.
"Gimana kalau kita ke Bandung?" tawar Regina.
"Memang lo mau ditugaskan ke sana?" tanya Tanzila balik.
Regina menggeleng.
"Gua sih bosan pergi ke Bandung. Gimana kalo ke Raja Ampat?" kata Susie balik bertanya.
"Mahal atuh, biayanya hampir sama kayak pergi ke Eropa," sahut Regina .
"Busyeeet," sela Tanzila. "Tuh kan―gua bete tinggal di Indonesia. Masa biaya terbang dalam negeri jauh lebih mahal ke Singapura," keluhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE HALF-BLOOD BOY (Book 1 - Kilian Humphrey Series)
AdventureKetika meninggalkan Amerika dan kembali ke Indonesia demi wasiat terakhir ayahnya, Kilian Humphrey, pemuda berusia tujuh belas tahun, berharap mendapatkan perlindungan dari seorang gadis bernama Regina Seda. Kilian diberkahi tiga hal: tampan, cerd...
