"Rasanya aku sangat familiar dengan pisaunya," ujar Rian setelah Mathias meninggalkan lokasi.

Iqbal mengamati pisau itu. Dia juga merasa sangat familiar dengan pisau itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Pak Rian, ini seperti pisau yang biasa digunakan di rumah-rumah. Pisau ini diproduksi masal dan kita bisa menemukan pisau ini di mana saja."

Mereka harus berhati-hati sekali ketika berjalan ke meja dengan papan nama Ari Thamrin. Meja tersebut terletak di sisi kanan meja Tasya. Meja tersebut sama sekali tidak mendapat sentuhan pribadi. Hanya ada map-map yang disusun rapi dua box file dan satu buah tempat pensil berdiri berisi satu buah pensil, cutter, dan dua pulpen. Layar komputer menyala di mejanya. Layar tersebut masih menandakan komputer tersebut terkunci.

Rian melihat secangkir kopi hitam pekat. Dia menduga isinya sama sekali belum berkurang. Proposal milik Wonder Sport pun terletak begitu saja di dekat keyboard.

"Korban baru saja bersiap akan bekerja, ada telepon masuk, korban tiba-tiba ditusuk dan terkapar. Pembunuh masih memegang pisaunya. Aku yakin pembunuhnya menggunakan sarung tangan. Kita asumsikan darah mengenai bajunya. Dia pasti mencucinya di dapur kecil yang kita lewati tadi."

Rian mengepalkan tangannya karena geram, tetapi wajahnya tetap saja datar. "Pembunuh pasti menganggap dirinya pintar. Menggunakan barang bukti yang dipakai banyak orang-orang dan menggunakan titik blind spot CCTV. Aku yakin dari CCTV itu kita tidak bisa menemukan apa-apa. Bisa saja CCTV itu dimatikan."

"Sayangnya kita harus menunggu sampai besok pagi untuk mewawancarai mereka." Wajah kecoklatan Iqbal tampak kecewa.

"Kita juga tidak bisa mengganggu pekerjaan Tim Inafis dan Tim Labfor dan memburu-buru mereka. Sudah cukup malam kita membangunkan mereka." Dilihatnya Ferri dan Robbi bersama tim mereka sedang menjalankan tugas mereka masing-masing.

"Selain itu, Pak, sepertinya kita harus bekerja seperti Hercule Poirot," kata Iqbal.

"Iya, Bal. Sepertinya kita harus mencari celah alibi mereka dan hubungan mereka dengan Ari. Menganilisis percakapan demi percakapan. Kita baru bertemu dengan Mathias, belum bertemu dengan semua orang yang bekerja di divisi ini. Dia menyembunyikan sesuatu. Kalau tidak, kenapa dia harus ketakutan."

"Untuk introgasi, kita bisa introgasi, Pak. Bagaimana kalau kita mengintrogasi sekuriti gedung ini, Pak."

"Ide bagus, Bal."

###

Sugeng, laki-laki berusia lima puluhan itu. Pria itu mengucek matanya dan menatap Rian dan Iqbal dengan tatapan tidak mengerti. Uban di rambutnya sama banyaknya dengan rambut hitamnya. Kepalanya kecil dipadu dengan rambut cepak.

"Pembunuhan?" tanyanya bingung. Matanya yang kecil mengerjap-ngerjap karena masih mengantuk.

"Iya, Pak Sugeng." Rian melihat name tag milik Sugeng.

"Siapa yang terbunuh?"

"Namanya Ari Thamrin."

"Waduh, saya tidak paham orangnya. Ada beberapa perusahaan di gedung ini dan banyak karyawan yang lalu-lalang setiap hari di sini. Saya tidak mengenal semua karyawan di sini termasuk Ari Thamrin."

"Kalau dari ciri-ciri fisiknya, apa Pak Sugeng bisa mengenalinya?"

"Coba, mana fotonya?".

Rian memperlihatkan foto Ari Thamrin di ponselnya. Sugeng mengangguk-ngangguk ketika melihat foto itu.

"Ah, saya tau tapi saya tidak tau namanya. Saya sering melihatnya kalau tidak ketiduran. Paginya saya juga mengurus rumah. Pekerjaan rumah nggak selesai-selesai ... eh ... kok jadi bahas ini .... Dia sering pulang telat. Saking seringnya, saya sampai hafal wajahnya," papar Sugeng.

"Biasanya dia pulang jam berapa, Pak?" tanya Rian sambil mengamati pintu masuk gedung. Pintu masuk otomatis, dinding bernuansa emas dan hitam yang mengkilat dengan lampu-lampu yang menyala terang. Lobi tersebut memancarkan suasana modern dan elegan.

"Sangat malam, jam sebelas malam. Pernah juga jam dua dini hari."

"Benar-benar tipe workaholic," gumam Rian seakan berbicara dengan dirinya sendiri. Dirinya pun suka tidak ingat waktu ketika bekerja. Istrinya suka mengingatkannya agar tidak memaksakan diri. Akan tetapi, jika sudah menangani sebuah kasus, dia bisa pulang di jam-jam yang ajaib. Bisa dibilang, dia hampir tidak pernah melihat wajah anak-anaknya.

"Oh iya, yang memiliki akses ke gedung ini hanya yang bekerja di sini? Tamu seperti kami harus menunjukan identitas dan menyebut keperluan kami kemudian nanti mendapatkan kartu akses khusus tamu?"

"Iya, Pak. Setahu saya semua gedung perkantoran begitu."

"Jadi, kalau bukan karyawan atau tamu dari salah satu perusahaan di gedung ini, tidak bisa naik? Tamu yang naik harus memiliki izin?"

"Iya, Pak. Harus memiliki izin," jawab Sugeng. Pria itu kemudian menunjuk sebuah laci yang terletak di meja resepsionis. "Semua tamu nanti mendapatkan kartu akses khusus dari kami setelah ada perusahaan yang meng-acc."

"Kunci loker itu siapa yang pegang, Pak?"

"Karyawan yang berjaga di sini, Pak. Setiap berganti shift, kami akan memberikan kepada karyawan yang bersangkutan."

"Baiklah, Pak Sugeng, kami sudahi dulu introgasi ini. Nanti kami akan memeriksa CCTV itu," ucap Rian sambil mengarahkan jari telunjuknya pada CCTV yang berada di seberang pintu masuk.

"Iya, Pak. Semoga kasusnya cepat terbongkar," ucap Sugeng dengan perasaan lega.

Kedua perwira itu berjalan ke luar gedung, berjalan tanpa arah mengitari gedung yang menjulang tinggi itu. Langit bulan Agustus ini begitu cerah dengan kerlap-kerlip bintang. Sang bulan pun tak mau ketinggalan memancarkan sinarnya. "Sebenarnya aku sudah tak sabar ingin mengintrogasi semua orang yang terlibat."

"Iya, Pak Rian. Saya bisa merasakan ada aroma kelicikan—kelicikan yang terselubung. Orang yang terbunuh itu sepertinya akan merepotkan semua orang jika orang tersebut tidak muncul."

"Kenapa kamu berpikir seperti itu, Bal."

"Saya dapat merasakan kecintaannya pada pekerjaan, pada meja kerjanya, tak ada hal lain selain arsip pekerjaannya. Dia orang yang sangat mencintai pekerjaannya dan mungkin sangat diandalkan teman-temannya. Namun, menurut pendapat saya, ada seseorang yang cemburu pada laki-laki yang bernama Ari Thamrin ini."

"Menurutmu, pelakunya adalah orang yang cemburu pada korban?"

Iqbal memasukan kedua tangannya ke saku jaket biru dongkernya dan terus berjalan mengimbangi langkah kaki Rian. "Saya juga tidak tahu, Pak. Sering kali kita menemukan pelaku yang sama sekali tidak kita duga. Seseorang yang sering kita abaikan dalam penyelidikan kita dan dianggap tidak ada hubungannya dengan kasus, jutru dialah pelakunya."

*Hecule poirot adalah nama dektektif fiktif karya Agatha Christie.

(UN) RESET (END)Where stories live. Discover now