File 01

44 14 49
                                        

Selasa, 4 Agustus 2020

"Ayo kita bersulang untuk merayakan keberhasilan kita kali ini," ucap Edwin sambil mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.

Malam itu, mereka merayakan sebuah pesta kecil. Kebiasaan itu memang sudahh biasa mereka lakukan setelah proyek yang mereka kerjakan berjalan dengan baik. Sudah menjadi kebiasaan jika mereka sukses mengerjakan suatu proyek, mereka akan mengadakan pesta kecil-kecilan di kafe itu. Hal itu mereka lakukan sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan mereka. Selain itu, pesta ini bisa menjadi motivasi untuk tim mereka untuk bisa bekerja lebih baik lagi.

Semua anggota timnya yang berjumlah tujuh orang itu mengangkat gelas mereka tinggi-tinggi. "Bersulang," ucap mereka bersamaan sambil bersulang dengan gelas Edwin. "Besok kita akan mengerjakan proyek besar. Kita semua harus bekerja keras memberikan pelayanan terbaik untuk klien kita ini," lanjut pria itu.

"Pak Rudi bukannya tidak begitu setuju jika kita megerjakan proyek besar," sanggah Tasya. Perempuan muda ini cukup kritis dalam menyampaikan pendapatnya.

Edwin mengerling pada perempuan yang duduk dua kursi dari kursinya. "Dengar. Kita akirnya mendapatkan kepercayaan dari Pak Rudi untuk mengerjakan proyek yang lebih besar dari sebelumnya. Pak Rudi, direktur kita setuju asalkan kita bisa menyelesaikan proyek ini tanpa masalah.

"Saya berdebar sekali menunggu proyeknya," ucap Candra yang duduk di sebelah Edwin.

"Saya juga. Pokoknya kita akan sama-sama untung," imbuh Edwin sambil tersenyum.

Semua orang dalam tim itu puas dengan kerja mereka kecuali Mathias. Dia agak memisahkan diri dari teman-temannya. Pemuda itu keluar dan duduk di teras kafe itu memandangi jalanan Jakarta yang masih ramai. Pemuda berambut ikal itu sadar bahwa ada yang tidak beres dalam pekerjaannya. Namun, seseorang menyempurnakan pekerjaannya dan menutupinya. Harusnya dia merasa senang akan hal itu. Akan tetapi rasa ketidakpuasan menggerayangi hatinya. Dia kesal dengan hal itu.

Chandra bangkit dari kursinya dan berjalan menuju seseorang yang duduk di belakang meja kasir. Statusnya sebagai duda cerai mati tanpa anak itu membuatnya merasa bebas merayu perempuan mana pun yang ia inginkan. Kini, hatinya kepincut pada sang pemilik kafe yang memiliki darah blasteran itu. Biasanya dia mudah meluluhkan hati seorang perempuan. Namun, perempuan blasteran itu susah sekali untuk ditaklukan.

"Imelda," ucapnya mulai menggoda, "kapan kamu mau nerima aku sebagai kekasihmu? Kita ini sama-sama lajang, lho?"

Sang perempuan tak memperhatikan ucapan sang lelaki. Dia justru memandangi seorang wanita berambut lurus yang sedang mengobrol bersama perempuan lainnya. Ada tatapan kecemburuan di mata perempuan itu.

"Well, aku pikir kita nggak harus bersama walaupun aku suka sama kamu," ucap Imelda.

Harga diri Chandra cukup terluka mendengar pernyataan itu. Namun, pria itu belum menyerah.

"Kalau kamu memang suka sama orang lain, nggak papa. Aku rela asal kamu jadi milikku Imelda," rayu lelaki itu lagi.

"Saya meragukannya."

"Kenapa ragu? Dan kenapa kamu liat Sheila kaya gitu?"

Imelda mengalihkan pandangan dari wanita itu dan melihat Chandra dengan pandangan yang sulit diartikan. "I know that you are perfectionist person. Jadi saya bukanlah tipe yang sempurna untuk Anda."

"Apa karena kamu menyukai orang lain?"

"Yea, saya memang suka orang lain yang jelas bukan orang seperti Anda."

"Saya memang orang yang perfeksionis, tapi saya tidak masalah kalau kamu suka sama orang lain."

"Anda bisa mengatakan seperti itu sekarang. Nantinya kita tidak tau. Saya telah mempelajari sifat Anda."

(UN) RESET (END)Where stories live. Discover now