File 05

7 2 10
                                        

Kamis, 6 Agustus 2020

"Tusukan tepat di jantung," ucap Rian tanpa ekspresi ketika melihat tubuh pria berusia sekitar 28 tahun itu. Wajah korban cukup tampan dan memiliki karisma yang kuat. Matanya dan mulutnya masih terbuka. Sepertinya korban tidak menyangka akan ditusuk seperti ini. Tubuh tinggi itu terbaring di tengah-tengah ruang kerja besar berlantai marmer, tepatnya di antara meja milik Edwin dan Tasya yang terletak berhadapan. Darah segar membanjiri area sekitar tubuh korban dan mengenai kaki meja milik Tasya.

Di tengah-tengah genangan darah ada sebuah ponsel keluaran terbaru. Selain itu, Rian juga melihat sebilah pisau terletak di sisi tubuh korban. Rian déjà vu ketika melihat pisau tersebut. Rasanya dia pernah melihat pisau tersebut di suatu tempat.

"Nama korban Ari Thamrin. Diperkirakan meninggal antara jam sembilan lebih lima belas sampai jam sepuluh lebih dua puluh. Satu tusukan tepat di jantung langsung melumpuhkannya."

Rian mendengar Robbi Tanjung—dokter forensik dari RS Polri itu berbicara. Sang dokter berjongkok di sisi korban kemudian menutup mata dan mulut korban. "Penusukan pasti terjadi dengan sangat cepat sehingga sang korban terkejut. Korban pasti tidak menyangka akan ditusuk seperti itu karena sedang menelpon. Korban langsung terkapar di lantai dan meninggal."

"Darah pasti muncrat ke baju pelaku," ucap Iqbal sambil ikut berjongkok di samping Rian.

"Pelaku pasti tertangkap oleh CCTV." Rian memperhatikan kamera pengawas yang terpasang di sudut atas ruangan. Ada yang aneh dari CCTV itu. Lensa CCTV itu bukannya mengarah ke bawah, tetapi justru mengarah ke atas dan berlawanan dengan posisi tubuh korban. "Seseorang telah mengutak-atik CCTV. Rupanya pembunuhan ini sudah direncanakan."

Rian menoleh ke arah Mathias yang berdiri dengan kaki gemetar di luar ruang kerja dan berjalan ke arahnya. Pemuda itu jelas ketakutan. Bibirnya yang tebal bergetar hebat.

"Bu-bu-bu-kan sa-sa-saya," ucap Mathias terbata pada Rian.

Mahias merasa dirinya sial. Sepulang kantor, rencananya dia akan mampir ke kafe milik Imelda, mengambil bajunya di apartemennya lalu kembali lagi ke kantor untuk tidur di sana. Rencana terakhirnya gagal ketika dia melihat tubuh Ari yang tak bernyawa. Sungguh tidak menyangka orang itu akan mati ditusuk. Pria 27 tahun itu sangat ketakutan. Seluruh tubuhnya bergetar. Dialah yang menelepon polisi. Walaupun tergagap karena ngeri, akhirnya dia berhasil juga memanggil polisi. Awalnya, dia berniat kabur. Setelah dipikir lagi, tidak ada gunanya kabur. Yang ada, dia justru dianggap sebagai buronan.

Dia merasa lebih baik dan aman setelah menelepon polisi. Namun, ketika polisi muncul di hadapannya, nyalinya ciut. Dia takut salah ucap tentang Ari. Bisa-bisa polisi mencurigainya kemudian menganggapnya sebagai tersangka.

Rian menatap pemuda itu dengan datar lalu berkata, "Untuk apa Anda datang ke kantor malam-malam?" tanya Rian.

"To-to-tolong jangan cu-cu-curigai saya. Sa-saya ti-tidak tau apa-apa." Mathias masih berbicara terbata, dia tidak menyangka akan menemukan tubuh Ari dalam kondisi tidak bernyawa.

"Apa Anda membenci Saudara Ari?"

Dia memang tidak suka pada Ari, tapi rasa tidak sukanya itu tidak sampai tahap ingin menyingkirkannya. Apalagi untuk membunuhnya.

"Un-untuk apa sa-sa-saya mem-mem-mem-membunuhnya. I-i-itu hanya membuat di-di-diri saya ru-rugi," jawab Mathias masih terbata-bata.

"Baiklah, Anda boleh pulang." Rian merasa belum berhasil mengintrogasinya. Ada sesuatu yang disembunyikan pemuda bertampang seperti burung itu.

Mathias termenung mendengar ucapan Rian. Pulang, batinnya. Ke mana dia harus pulang. Dia merasa sendirian di apartemennya. Tidur di kantor, walaupun sendirian, akan tetapi dia tidak merasa repot harus berangkat keesokan paginya. Namun, akhirnya dia pergi juga setelah mendapatkan tatapan datar dari Rian. Baginya, tatapan itu setajam pisau dan membuatnya serba salah

(UN) RESET (END)Where stories live. Discover now