PART 1 TEMU (1.1)

3.1K 2.2K 852
                                    

Bila senyummu masih melekat begitu kuat dalam ingatanku, apakah senyumku masih melekat kuat dalam ingatanmu? Ini bukan lagi tentangmu, melainkan tentangku, tentang temu yang kau hindari.

Sudah delapan bulan berlalu sejak dia pergi, 28 Februari 2018, tetapi segalanya masih sama tak ada yang berubah. Sekalipun saat ini, mataku memandangi layang-layang yang tersebar di depan rumah, tetap saja ingatanku masih mengembara ke pertemuan kala itu.

Kepergiannya yang tiba-tiba, memang tidak pernah terpikirkan sama sekali olehku. Jika saja diberi sedikit waktu untuk jujur, barangkali aku tidak akan meninggalkannya begitu saja, tapi apa boleh buat, ego itu terlalu tinggi mencumbui rasaku.

Apa aku menyakitinya? Iya, aku akui salah. Namun, ini tidak sepenuhnya salahku, pikiranku hanya kalut ketika ia memaksa untuk segera menikah dengannya. Bukan karena tidak ingin menerima lamarannya, tapi waktu itu bertepatan dengan kepergian bapak. Aku kira ia bisa mengerti, ternyata salah, ia justru memberi pilihan yang tidak bisa aku penuhi sama sekali.

"Boleh Ibu duduk, Nak?" tanya ibu ketika aku masih terdiam di depan pondok. Pondok ini terletak di halaman rumahku.

Aku beringsut, memberi ruang untuknya. "Duduklah, Bu."

"Layang-layangnya cantik, ya," gumamnya sambil menatap layang-layang yang hilir-mudik di atas langit sore.

"Iya," jawabku seadanya.

Ibu tampak berpikir, desahan napasnya terdengar tak teratur. "Kau masih merindukannya, Nak?" tanya ibu begitu saja, tanpa melirik.

Aku diam, bingung harus menjawab apa. Tentu saja, aku masih merindukannya, bahkan sangat ingin bertemu dengannya. "Tidak, Bu ... rinduku tidak sebesar itu untuknya," sanggahku membohongi perasaan sendiri.

Ibu meraih sebelah tanganku. "Rindu itu, tak bisa kau abaikan begitu saja, Are ... semakin kau membohongi perasaanmu, semakin kencang rindu itu menikammu."

"Percuma saja, Bu ... rinduku sudah tak ada gunanya lagi." Sambil menatap matanya yang menua.

"Siapa yang bilang, Nak? Kau kejarlah dia, bawa dia kembali ke sini," jawab ibu tepat di telingaku.
Aku terhenyak tidak menyangka bahwa ibu bisa berucap seperti itu.

Jika ibu seyakin itu, lantas mengapa aku masih meragukan perasaanku sendiri? Semula, aku pikir keputusan yang kuambil adalah jawaban yang aku inginkan, keliru -- ternyata itu justru hukuman yang aku sengajakan untuk diriku sendiri.

Jika kepergiannya karena takdir yang meminta, barangkali aku bisa mencoba merelakannya. Namun, kepergiannya kali ini bukan lagi permintaan takdir, melainkan keegoisanku yang selalu menuntutnya untuk menungguku.

******

Kurang lebih sebelas jam berkendara, aku sampai di kota Pekanbaru, tempat tinggalnya saat ini. Aku seret koper, mencari angkutan umum yang bisa membawaku ke tempatnya.

"Mau ke mana ini?" tanya supir tersebut, wajahnya cukup sangar untuk ditatap dari jarak sedekat ini.

Aku ambil secarik kertas dari saku celana, lalu menyerahkan kepada supir tersebut. "Naiklah, akan aku antar kau ke sana," ucapnya yakin.

Aku menuruti permintaannya sambil melewati beberapa tas belanjaan yang berisi sayur-mayur -- mencari ruang kosong untuk diduduki. "Dari luar kota, ya?" tukas wanita yang sepertinya seumuran denganku.

Aku perhatikan jilbab yang dikenakannya, dan menatap senyum ramah yang sedang terpampang di wajah putihnya. "Iya," jawabku mengangguk.

"Omong-omong dari mana?" tanyanya ingin tahu.

"Dari, Jambi," pungkasku.

"Sendirian, aja?"

"Iya."

Jujur, berbicara dengan orang lain, memang bukan kelihaianku, apalagi berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal. Tipe introvert sepertiku, selalu membutuhkan ruang untuk membaca dan memahami segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupanku.

Banyak yang bilang aku dingin, tapi percayalah, itu hanya caraku untuk memilih orang-orang yang akan aku jadikan sebagai teman nantinya.

Bagiku tidak perlu seribu teman, karena itu akan banyak menguras tenaga -- cukup satu atau dua orang teman saja, maka dengan begitu, aku bisa fokus membagi waktu dengan mereka, tanpa merasa terusik ataupun mengusik orang-orang di sekitarku.

" ... Oh, perkenalkan nama saya, Mutiara Arasy, kamu bisa panggil, Aras," ucapnya ketika aku membisu.

Aku raih jabatan tangannya. "Saya, Are Aleandita."

"Kamu turun di sini?" tanyanya setelah supir angkot menyuruhku keluar.

"Iya, saya duluan," pamitku.

******

Next Part 1 Bagian 2 ..
Stay tune terus yah .... 🥰

Garis Rasa (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang