001

263 22 0
                                    

Setelah wujudnya tak terlihat di permukaan, makhluk air bernama Thalassa Lacerta itu berenang menjauh. Ia mencoba mengerahkan seluruh tenaga agar secepatnya sampai di kerajaan Altayore yang terletak di dasar laut pedalaman Athes.

Tak pernah ia sangka jika tubuhnya membawa sesuatu yang menjadi racun bagi bangsa Mermaid lainnya. Thalassa dikelilingi cairan hijau yang mengikutinya sejak tadi.

Di gerbang Altayore terdapat dua penjaga yang seketika merapatkan dua trisulanya masing-masing guna mencegah Thalassa masuk. Mereka tercengang kala melihat cairan hijau aneh yang mengelilingi Thalassa.

"Aku Thalassa. Mengapa kalian tidak mengizinkanku masuk? Aku ingin bertemu Raja Nepale untuk melaporkan sesuatu."

Seorang Merman yang memiliki ekor emas kecokelatan berkata, "Tidak bisa. Kau akan membawa pengaruh buruk bagi Altayore."

"Sydar! Apa maksudmu?" ucap Thalassa yang masih belum menyadari semuanya.

"Tubuhmu sudah dikelilingi racun," tutur Sydar dengan suara yang diiringi kemurkaan. "Sekarang cepat pergi sebelum Altayore hancur karenamu!"

"Racun? Racun apa maksudmu?" Thalassa masih diliputi kebingungan.

"Kau pasti baru saja kembali dari permukaan bukan? Aku tahu cairan itu hanya berada di dunia manusia." Sydar bertutur panjang.

Sehingga Thalassa memutuskan untuk mengalah. "Ya, aku sadar makhluk sepertiku tidak pantas menjadi bagian dari Altayore. Kau pikir Mermaid yang tertakdir tak memiliki kekuatan apa pun sepertiku dibutuhkan di sini? Hahaha tidak, Thalassa." Thalassa berbicara pada dirinya sendiri kemudian pergi menjauhi Altayore.

Sudah berkali-kali ia diperlakukan seperti itu. Jika tidak membawa racun pun, kehadirannya juga tidak akan diterima di sana. Kini, Thalassa kembali ke tempat tadi, tempat kecelakaan kapal pesiar.

Thalassa mengamati dari jauh. Ia tidak memiliki keberanian untuk mendekat karena setahu dia semua manusia itu jahat dan manusia menjadi bahaya terbesar bagi makhluk seperti dirinya.

Mata hitam itu menangkap pemandangan air yang bergerak cepat. Kepala manusia muncul, lalu tenggelam dan begitu sampai seterusnya. Entah dituntun apa, akhirnya Thalassa berenang mendekati manusia yang sepertinya sangat membutuhkan pertolongan.

Thalassa mendapati tubuh seorang pemuda yang sudah tak sadarkan diri dalam pelukannya. Thalassa tidak tahu harus melakukan apa. Kekuatan tangannya perlahan hilang karena pengaruh bahan kimia hijau tua terkutuk itu.

Untuk berenang saja ia sepertinya sudah tidak kuat, apalagi ditambah beban tubuh manusia yang jelas lebih besar darinya. Tapi, hati Thalassa tak kuasa, dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia menyeret pemuda itu menepi ke daratan.

Malam begitu pekat sehingga tak seorang pun menyadari kecelakaan kapal tersebut. Ini mempermudah Thalassa agar tidak dilihat oleh manusia.

"Ukhukk!" Arnav terbatuk dan mengeluarkan banyak air dari dalam mulutnya. Samar-samar ia melihat seorang gadis dengan rambut basah sedang menatap penuh iba padanya. Secepat mungkin Arnav mengusap mata untuk memastikan jika ia tidak sedang bermimpi.

Menyadari itu, Thalassa kelimpungan dan berjalan mengesot menuju laut.

🧜‍♀️

Staiq pagi itu digemparkan oleh siaran televisi yang mengabarkan tragedi mengerikan semalam. Terjadi ledakan hebat yang mengakibatkan sebagian kapal pesiar kebanggaan kota Staiq itu hancur.

Beberapa korban dievakuasi. Kabar itu tentunya sangat menyita perhatian dunia, mengingat kota Staiq adalah kota besar. Bangkai kapal masih dibiarkan berada di tengah laut. Para tim SAR hanya fokus mencari korban untuk pagi ini.

Semua dibuat tercengang karena pagi itu, air laut Athes yang biasanya akan berwarna biru berubah abu-abu hampir menyerupai laut Auriga. Hanya saja abu dari laut Athes tidak sepekat Auriga. Sebagian orang memaknai jika Athes sedang berkabung.

Para tim berusaha setotal mungkin mencari para korban yang mereka harap masih ada yang ditemukan dalam keadaan bernyawa.

Karena kejadian itu, membuat warga pesisir berlomba-lomba melihat ke sana sehingga membuat kerumunan.

🧜‍♀️

Tutt!

Tutt!

Tutt!

Bunyi mesin Elektrokardiogram memenuhi ruangan sunyi. Monitor dari alat pendeteksi jantung itu menampilkan garis standar dari aktivitas jantung pasien yang sedang terbaring di brankar. Tak ada satu pun seseorang yang menemani, hanya kesunyian memeluknya.

Hingga bunyi decitan pintu kaca itu terdengar diiringi langkah sepatu ringan menuju ke dalam.

"Bahkan di situasi yang seperti ini wajahmu masih saja menyebalkan." Arnest tersenyum kecut pada Arnav yang masih tak sadarkan diri.

Sembari membuka tirai, Arnest meneliti luka di leher Arnav. Tunggu, luka di leher kembarannya itu terbilang aneh seperti luka cakaran. Hal itu membuat Arnest mendekatkan wajah untuk mengecek agar lebih pasti.

Dengan pelan, Arnest menyentuh luka Arnav dan benar-benar terkejut kala mengetahui itu sangat persis seperti luka cakar. Gerakan tangan Arnav membuyarkan lamunan Arnest.

"Ka ... kau siapa?!" Arnav berteriak kencang.

Tanpa memiliki rasa iba Arnest langsung mendaratkan pukulan di lengan Arnav. "Bodoh!"

Arnav yang belum sepenuhnya sadar langsung terkejut. "Mengapa jadi kau? Bukankah tadi yang menolongku seorang wanita dan dia ...."

Arnest memotong cepat. "Hentikan omong kosongmu. Kurasa kau tidak benar-benar sakit. Ayo pulang! Merepotkan saja."

Saudara kembar itu selalu saja bersiteru.

"Bagaimana kau bisa selamat? Apa kau juga ditolong seorang wanita aa ... maksudku ...." Arnav menghentikan ucapannya saat kembali mendapat pukulan dari saudara kembarnya.

"Apa yang kau bicarakan? Jangan lupa kau berbicara pada atlet renang yang selalu membawa pulang medali," tutur Arnest menyombongkan diri.

Jelas saja Arnav tidak peduli akan hal itu. Ia masih saja tidak habis pikir dengan kejadian yang menimpanya semalam. Bahkan, ia sempat berpikir kalau itu hanyalah halusinasinya saja. Namun, hal yang dianggapnya halusinasinya itu benar. Arnav benar-benar ditolong oleh seorang wanita.

__________________________________________

#Authornote

Hy semua terima kasih sudah mampir 😍 jangan lupa vote komennya, ya.

🧜‍♀️

The Blue ShineWhere stories live. Discover now