Pesan Angin

750 233 36
                                    

Puncak Namsan semakin ramai oleh para pengunjung. Hiruk pikuk mendecak gendang telinga. Lalu-lalang berseliweran dalam netra.

Diawali helaan napas panjang, dengan langkah tertinggal Jasim dan Ayana yang melangkah terseok-seok menyusul Hyun Jae, Haura melangkahkan kakinya dengan derap langkah penuh energi. Entah kenapa hatinya mendadak tersulut emosi mengingat sesuatu. Malam tadi.

Benar. Sesuatu di malam tadi. Hyun Jae yang mengajaknya seperti memaksa agar dirinya mau berjalan-jalan di hari ini dengan dalih sudah mengajak serta Ayana dan Jasim sebagai alat pancing. Getol sekali, sekalipun hanya dalam batas pesan Line. Namun, spam bujuk rayu menyebalkan.

Ini sungguh mengesalkan!

Bagaimana bisa lelaki jangkung itu sekarang justru berlaku apatis dengannya, bahkan mulai dari perjalanan cable car hingga kini di puncak Namsan, tidak mengajaknya bicara barang sepatah tanya. Haura emosi dengan mendadaknya sikap kaku Hyun Jae.

"Ahjussi!"

Mendengar suara yang sangat familiar itu, Hyun Jae menahan laju langkah kakinya. Perlahan menengok ke belakang, langsung tersuguhkan Haura yang terseok-seok mendekat ke arahnya dengan ujung hijab warna espresso yang melambai terhempas angin.

Langkah kaki Haura tertumpu setelah berhasil menyusul Hyun Jae. Tepat di hadapan dada bidang milik lelaki jangkung itu radius satu meter. Napasnya terengah-engah. Tatanan sisi oval hijab warna espresso-nya agak berantakan, menjadikan ia terlihat payah. Dan sebenarnya justru membuat Hyun Jae gemas. Namun, lelaki itu tengah tak ingin meledek apa pun seperti biasa. Hanya ingin menatapnya khidmat saja, menikmati dalam netranya, itu sudah cukup.

Haura sedikit mendongak menatap Hyun Jae. "Ada apa denganmu? Gwaenchanha?" Mimik wajah Haura tampak khawatir. Berhasil membuat lelaki di hadapannya terhenyak, melipat dahinya.

Mendadak, Haura pula tertegun sendiri dengan sikap perhatian ini yang barusan muncul.

Menggigit bibir bawahnya, Haura menjadi canggung sendiri, ia langsung membalikkan badan, membalik arah lagi, melangkah cepat.

Kukuh. Hyun Jae tetap mencoba tak acuh, sekalipun ia sesungguhnya ingin menahan gadis yang tengah menanggung malu itu. Ia paham sekali atas sikap canggung gadis itu. Tak salah. Sosok itu memang tengah menanggung malu.

Masih menatap Haura yang terus berjalan cepat, Hyun Jae menghembuskan napas panjang.

Hingga sesaat kemudian, Haura terlihat berpapasan dengan Ayana dan Jasim yang tengah menuju ke arahnya. Dengan balik arah itu, menjadikan dua bersaudara itu menatap keheranan.

"Ya! Mau ke mana?" selidik Ayana. Haura tak acuh, terus melangkah dengan perasaan kacau.

"Ada apa dengannya? Barusan dia getol sekali menyelip langkah kita untuk lebih duluan menyusul Hyeong. Namun, sekarang dia?" Jasim berkomentar keheranan.

Ayana menghempaskan napasnya. Beralih menatap Jasim di sampingnya.

"Pasti karena ...." Sengaja dibuat mengambang atensi itu, membuat isyarat dengan tatapan tunjuk ke arah Hyun Jae radius lima meter dari arah mereka yang masih bergeming menatap punggung Haura.

Jasim memicingkan matanya melihat Hyun Jae seraya membuat bentuk kotak dengan kedua jari yaitu jempol dan telunjuk, layaknya sebuah bingkai. Melihat Hyun Jae lewat terobosan bingkaian itu untuk mendapatkan angle. Lalu beralih ke belakang, ke punggung Haura yang semakin jauh dengan cara yang sama.

"Mereka saling menyukai, ya?" selidik Jasim kemudian, lalu melerai gerakan kedua tangannya.

Ayana mengidik lemah, tapi menimpali juga, "Sepertinya."

Syahadat di Langit SeoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang