V. Resolusi yang Gagal

48 5 16
                                    

[RESOLUSI YANG GAGAL]
oleh: pulpenabu (pulpenabu)

[]

Lelah menjadi jomlo sejak akhir tahun kemarin, Karin berkeinginan besar untuk melepas predikat itu di tahun depan. Terlebih teman-temannya nyaris sudah bertunangan semua. Membuat sifat dengki yang sejak dulu tidak pernah ada dalam kamusnya muncul begitu saja, dan Karin jadi ingin cepat-cepat menyusul mereka. Namun, yang menjadi permasalahan utamanya adalah, dia sedang tidak dekat dengan siapa pun hingga saat ini. Hal itu sukses membuat Karin berpikiran gila dan mencoba berkenalan dengan salah seorang yang mengirimkan pesan pribadi di media sosial.

Dirinya kira, semuanya akan berjalan mulus sesuai bayangannya, terlebih seseorang bernama Fahri—kenalannya itu—bersikap baik, perhatian, dan lumayan asyik dijadikan teman chatting. Hal itu terjadi di awal-awal, dan lama kelamaan justru Karin merasa tidak nyaman karena lelaki itu terlalu berlebihan. Apalagi Fahri selalu memujinya cantik di setiap kesempatan, dan hal itu semakin sukses membuat Karin merasa harus menghindari lelaki itu secepat mungkin.

"Astaga, kamu beneran cantik banget, Rin. Seperti bidadari," ujar Fahri ketika mereka sedang video call.

Karin bergidik dan mencibir dalam hati. Ingin rasanya dia merotasikan bola mata, tetapi ia masih tahu diri hal itu tidak sopan apalagi kepada seseorang yang mungkin akan menjadi kekasihnya. Maka, Karin hanya tersenyum tipis dengan sorot mata yang datar. Hell, tentu itu bukan Karin sekali! Dirinya itu dikenal sebagai sosok yang ramah dan konyol. Dan jika dirinya sudah bersikap 180 derajat dari kebiasaannya, ya semua orang tahu, lah, apa yang dirasakannya.

"Namanya juga cewek, ya cantik lah, Ri. Beda lagi kalau gue brewokan."

"Haish, aku serius, lho, kamu cantik banget. Mau nggak jadi pacarku?" balasnya dengan suara yang dibuat—ewh, Karin benar-benar jijik dengan nada suara yang lelaki itu keluarkan.

"Yaelah, baru juga kenalan dua minggu yang lalu, Ri. Udah minta pacaran aja."

"Ya biar kamu buat aku aja. Selain karena aku udah capek jomblo, aku juga nggak mau kamu sama yang lain, eheheh."

"Hadeh, gue belom ada rasa apa-apa kali. Ngegas amat lu!"

Kali ini Karin benar-benar tidak bisa menutupi nada suaranya yang terdengar malas. Dirinya sungguh muak, dan akhirnya memutuskan panggilan video itu sepihak lalu mematikan sambungan datanya. Sial. Bisa-bisanya dirinya gegabah dan malah berkenalan dengan lelaki alay semacam itu. Apa lagi Fahri juga tipikal lelaki yang selalu ingin dikabari kapan pun ketika melihat dirinya online. Damn, Karin benar-benar menyesali tindakan gegabahnya dua minggu lalu itu.

Karin memejamkan mata, sembari melepas headset yang terpasang di telinganya. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar dan mengambil sebotol besar jus jeruk yang memang selalu ada di kulkas dapur rumahnya, lalu meneguknya hingga tersisa setengah. Yah, itulah kegiatan yang akhir-akhir ini selalu ia lakukan karena libur yang didapatinya dari perusahaan.

Mengambil ponsel dari saku celana, Karin lalu membanting tubuhnya ke sofa depan televisi dan kembali menggulir laman Instagram-nya—karena sepertinya hanya kegiatan itu yang tidak menghabiskan tenaga, sebab Karin benar-benar sedang malas melakukan apa pun.

Ia fokus melihat-lihat postingan para artis dan para temannya, yang terlihat sangat bahagia meski Karin tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Karena baginya, menilai kebahagiaan dari unggahan di sosial media sama sekali tidak akurat. Bisa jadi, mereka yang haha-hihi di media sosial justru sangat tertekan dan ingin menangis meraung-raung karena cobaan yang menimpanya di dunia nyata. Setidaknya, itu menurut sudut pandangnya.

Namun, sepertinya Karin lupa, jika sosial media bisa membuat dirinya yang selalu damai sentosa bisa merasakan penyakit hati yang datang begitu saja melihat postingan teman-temannya.

Karin berdecak, terlebih ketika dirinya menggulir semakin ke bawah dan mendapati kenalannya sejak sekolah dasar mengunggah foto jari manis yang sudah bercincin, foto bahagia sambil menggunakan caption romantis, bahkan foto ala-ala pre-wedding. Huh, menyebalkan sekali!

"Yaelah pada alay amat sih, putus baru tau rasa lo! Baru tunangan aja pamernya udah berasa hidup ini milik berdua." Karin mengomel sendiri dan tidak menyadari jika sahabatnya, Josep, datang tanpa permisi dan menoyor kepalanya.

"Pasti lo iri, kan? Karena setelah sekian waktu berlalu dan temen-temen lo udah pada punya gandengan sedangkan lo masih sendirian? Ngaku lo!"

"Berisik! Lagian nggak lagi-lagi deh gue nyoba kenalan sama cowok di sosial media. Nggak jelas semua," balas Karin sembari membenarkan rambutnya yang acak-acakan dan membenarkan posisi duduknya.

"Lah, kenapa?"

"Ya karena cowok yang gue balesin chatnya malah kayak over gitu. Lo tau? Masa iya dia selalu nge-chat gue setiap waktu, selalu muji gue cantik tiap ada kesempatan. Padahal kan gue paling nggak suka cowok kayak gitu, Sep. Keliatannya mandang fisik banget!" Huft! Akhirnya keluar juga unek-unek yang sedari tadi mengganjal di benaknya. Setidaknya, kedatangan Josep sedikit berguna.

"Loh, bukannya cewek suka digituin? Gue kadang bingung sama cewek yang nggak ketebak maunya. Kayak lo gini. Kami sebagai kaum adam kan jadinya pusing mau pedekate dengan cara apa." Josep berdecak sambil mengambil toples yang terletak di atas meja.

"Ya nggak segitunya juga, Sep. Kalo ini mah berlebihan banget. Gue aja dengernya sampe mau muntah, njir. Apalagi nada suaranya ya ampun, gue bener-bener kayak mimpi kenalan sama cowok macam itu. Mana akun dia gaada fotonya sama sekali, dan nggak mau ngirimin foto malah langsung minta ketemu. Ya gue takut lah, siapa tau dia tukang hipnotis. Gimana nih, Sep! Gue bingung banget."

"Blokir ajalah," jawab Josep enteng.

"Hah?"

"Ngapa lo?"

"Blokir? Tanpa ada masalah apa-apa dan langsung diblokir? Jahat banget!"

"Ya jadi lo maunya gimanaaaa?" Josep bertanya dengan gemas. Perempuan di hadapannya ini benar-benar absurd.

"Ya nggak tau lah! Tapi di sisi lain gue tuh nggak mau nyakitin cowok. Takut kena karma."

"Bodo amat!"

Di tengah-tengah perdebatan itu, ponsel Karin berbunyi secara beruntun. Membuatnya jadi penasaran, dan segera menilik ponselnya. Ia menyimak dengan seksama apa yang dibahas oleh teman-temannya di grup Whatsapp, lalu melemparkan ponselnya frustrasi. Gila! Fahri gila!

Bisa-bisanya lelaki itu mengirim pesan pribadi pada salah satu sahabatnya dan dengan tidak tahu diri bertanya-tanya tentang Karin, dan sahabatnya itu mengirim screenshoot berisi chatnya dengan Fahri di grup. Membuat semua sahabatnya tahu dan langsung berbondong-bondong mem-bully-nya. Sialan lelaki itu. Pokoknya Karin harus secepat mungkin memblokir Fahri atau dia bisa-bisa dibuat semakin malu dan jijik sendiri.

Josep, yang sedari tadi hanya mengamati sahabat sekaligus tetangganya itu, mengernyit. Karin belum pernah bersikap berlebihan seperti itu, meski di matanya hal itu terlihat sangat lucu.

"Udahlah, diblokir aja. Orang bikin risi tuh harusnya nggak usah diladenin."

"Baru aja gue blokir, Sep. Gak tahan gue." Karin mengembuskan napasnya kasar. "Yaelah, padahal niatnya tahun baru pacar baru, malah dapetnya yang kayak tukang teroris gini."

Mendengar itu, Josep yang baru akan memasukkan kacang ke mulutnya berhenti seketika. "Lo tau nggak, sekarang tanggal berapa?"

"31, kenapa?"

"Bulannya, bulan apa?"

"Desember," ujar Karin tidak sadar, bahwa tahun baru ada di depan mata.

"Selamat datang ditahun baru, dengan status yang nggak baru-baru, Karinina. Sabar yaaaa.Bhahahaha."

ANTOLOGI HaN #1 - Tell Me Tales of Last YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang