IV. Dia Tidak Datang Bersama Hujan, Lagi

36 6 17
                                    

[DIA TIDAK DATANG BERSAMA HUJAN, LAGI]
oleh: Munsyarah (moonitulon)

[]

November, Oktober, Desember. Hujan, hujan, dan hujan. Dia selalu bilang bahwa dia akan datang bersama hujan. Menungguku di bawah pohon besar di taman kota. Lalu mengajakku untuk bermain hujan tanpa takut akan diserang flu setelahnya. Tapi sudah satu bulan berlalu, batang hidungnya tak pernah muncul barang seujung jemari. Se-Oktober dia tidak pernah muncul, membuatku harus menunggu sambil mengentak-entakkan kaki berang setiap sore di bawah hujan.

Siang ini kulihat langit sudah terlihat sedikit kelabu. Hatiku berkata, mungkin nanti sore akan hujan. Semoga saja.

Aku menutup buku yang ada di pangkuanku. Tidak ada lagi kisah yang harus kutulis di sana. Mungki setengah dari bukunya hanya akan berisikan garis-garis buku tanpa coretan barang satu huruf.

"Nes, balik kelas yuk!"

Ah, bahkan aku hampir lupa dengan gadis yang sejak tadi menemaniku. Otakku memang benar-benar sedang dibuat kacau.

Kulirik Sinta yang sedang menatapku. Wajahnya terlihat seperti sedang ada masalah atau mungkin sedang mengkhawatiru. Entahlah, akhir-akhir ini aku tidak terlalu peduli padanya. Aku sibuk mencari dia yang sudah hilang se-Oktober lalu.

Aku bangkit tanpa mengiyakan ajakannya terlebih dahulu dan juga berjalan lebih dulu darinya. Akhir-akhir ini aku juga jarang berjalan bersisian dengannya. Cukuplah dari umur lima tahun aku selalu di sampingnya. Sekarang aku sedang ingin sendiri.

Di kelas sama sekali tidak ada yang menarik. Anak-anak kelas terbahak di sana sini. Mereka mungkin sudah menemukan definisi kebahagiaan. Ya, mungkin saja.

Aku meraih tas dalam laci. Membuka resleting untuk kulihat pisau kecil di sana. Langsung saja seulas senyuman terbit di wajahku. Sungguh, pisau kecil ini lebih menarik ketimbang lawakan receh yang sering Sinta tonton di video-video stand up comedy.

"Nes!"

Aku sedikit terperanjat dengan panggilan Sinta. Cepat-cepat kututup kembali resleting tasku dan meletakkannya kembali ke dalam laci. Ternyata gadis itu sudah berada di sampingku, tapi entah kapan. Aku sama sekali tidak merasakan kedatangannya.

"Nanti pulang sekolah bareng kan?" tanyanya yang kurasakan sudah memalingkan badan untuk menghadap kepadaku.

Aku menggeleng ringan, "Enggak."

"Nes," Sinta meraih bahuku. Aku masih menatap ke depan tanpa memalingkan badan untuk berhadapan dengannya.

"Bunda bilang, aku harus pulang sama kamu sampai," Sinta memotong ucapannya. Kalimat itu terlalu menggantung di udara.

"Biar kita beli es krim lagi kaya SD dulu, gimana?" Sinta memutar haluan pembicaraannya. Aku muak dengannya. Muak dengan ajakan pulang sekolah bersama.

Aku mendesah lalu menepis tangannya yang bertengger pada bahuku, "Enggak."

"Nes," panggilnya lagi.

Aku memutar bola mataku. Kenapa akhir-akhir ini Sinta terlihat menyebalkan. Anes sana, Anes sini. Dia selalu saja mengekoriku terus-terusan. Mengajak pulang bersama. Mengintiliku sampai ke pinggir lapangan bola volli. Sebenarnya apa sih maunya?

Aku bangkit. Suara kursi yang kudorong terdengar nyaring, membuat celah antara aku dan Sinta. Lantas aku langsung meninggalkan gadis itu untuk kembali ke tempat sebelum aku memasuki kelas tadi.

Di koridor banyak siswa yang lalu lalang. Kadang mereka berjalan seolah-olah mencoba menghalangiku.

Aku benci pada mereka semua, tertawa-tawa seolah mengejekku yang sedang kehilangan arah. Andai saja aku tidak memikirkan konsekuensinya, dengan senang hati aku akan menjambak rambut gadis gila yang sedang terbahak di depan pintu kelas.

ANTOLOGI HaN #1 - Tell Me Tales of Last YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang