Epilog

16 4 4
                                    


" Dengan mbak Randha ?.."

"Oh iya ada apa.."Aku menoleh ke sumber suara.

"Apa kabar?"

"Hei Hanza kau tumbuh dengan cepat..lihat berbeda sekali dari 5 tahun yang lalu. Oh iya kabarku baik. Ada apa kau disini?"

"selamat ..sudah dalam proses tesis ya? Aku yang akan mewawancaraimu nanti, makanya aku disini."

"Subhanallah kau keren sekali sudah dosen sekarang, lihatlah aku tertinggal banyak darimu, kudengar kau juga sempat Belajar di LIPIA Jakarta ...."

"Alhamdulillah aku belajar cepat di ITB dan ambil 6 bulan untuk belajar agama di LIPIA Alhamdulillah Allah memberi kelancaran.. maaf tadi aku tak sengaja liat berkas-berkas penelitianmu."

"benarkah? Bagaimana menurutmu?"

"Itu hebat sekali ..kau sudah mau membangun akademi sains dan Alquran, aku juga kagum dengan hasil penelitianmu tentang obat-obataan alternatif dan energi alternative dari alam, mungkin gubernur akan menyutujui idemu ini."

"Alhamdulillah, gubernur sudah mulai membuat racangannya InsyaAllah bulan depan akan jalan, ngomong-ngomong kau berbeda sekali, perubahan drastis, istrimu pandai sekali merawat orang seperti mu."

Hanza tersenyum," Aku belum menikah, kamu?"

"Sekarang aku belum kepikiran tentang itu, aku mau fokus untuk menyelesaikan studi dan menjalankan penelitianku,"jawabku cepat.

"Hati-hati kau, juga butuh pendamping.."

Aku mengiyakan,"iya, terimakasih nasihatnya."

"Ran..apakah kau masih suka aku?"

Aku terdiam, kemudian berseru pelan" kau berbicara seperti anak kecil saja, kita sudah besar, hal seperti itu bisa disingkirkan."

"Oke..kalau begitu apakah boleh aku menjadi suamimu. Apakah masih terlihat seperti anak kecil?"

"Heh kau bercanda?" Nada bicaraku berubah,

Alis Hanza mengerut,"hei aku bukan kamu yang senang berlagak, atau begini saja maukah kau menjadikanku pendamping hidupmu, apakah kata kata itu masih terdengar seperti anak kecil?"

"Kau mau maju bersama hidupku yang penuh tantangan ini? menikahiku dan untuk setelahnya bukan hal yang mudah."

"jika aku tidak maju dan menjagamu, lalu apa gunanya aku menyukaimu selama bertahun-tahun."

Aku tersenyum di balik masker putih, mengangguk pelan.

Aku sadar selama ini memang aku bersemu merah jika bertemu dengannya, sejak SMA sampai sekarang pun raut itu tidak bisa disembunyikan, aku sering melihatnya diam-diam hal bodoh yang terus kulakukan, berharap padanya dan menepisnya diam-diam, bahkan membohongi diri sendiri bahwa aku tak pernah ada rasa dengannya, bukan tentang masalah cinta saja, masalah yang lainnya pun sama aku berusaha tegar dengan sesuatu yang menyakitkan malah sejatinya hatiku menangis dalam-dalam, mungkin orang lain melihat diriku kuat dan tak mudah sakit hati, nyatanya bahkan hatiku lebih rapuh dari mereka. Hal lucu ini berhasil Hanza taklukkan,dia ingin aku menjadi diriku yang jujur dan sebenarnya.

"Hanza..kau memang berbeda, tolong bantu aku sepenuhnya ." Kusodorkan card alamat rumah orang tuaku.

"Lusa aku tunggu. Sekarang aku harus bersiap2 untuk diwawancara."lanjutku.

"kau selalu suka aku kan..?"Hanza bertanya pelan lagi, pertanyaan yang membuat telingaku geli, sambil melempar permen yang sudah mulai kusut bungkusnya.

"Kau punya cahaya yang berbeda, quote yang bagus," ujarku setelah melihat sisi belakang permen.

"Ini permen yang kau jatuhkan saat lomba kan."

Hanza mengangguk," kau selalu suka aku kan.."dia kembali bertanya, pertanyaan yang sama.

"Intensitas cahaya mu berbeda..karena itu aku selalu. Selalu menyukaimu bahkan saat kau belum melihatku."

TAMAT

Intensitas cahayaWhere stories live. Discover now