JINGGA

71 16 4
                                    

To be, or not to be: that is the question:
Whether 'tis nobler in the mind to suffer
The slings and arrows of outrageous fortune,
Or to take arms against a sea of troubles,
And by opposing end them? To die: to sleep;

- Hamlet (William Shakespeare)


Sabtu, 20 Oktober 2007. Tengah malam.

Untuk Yang Mulia Putri Kerajaan Musim Panas Yang Paling Cantik Jelita

Lizzie sayang,

Selamat ulang tahun yang ke tujuh. Kau adalah gadis cantik yang sudah besar sekarang. Kau gadis yang sangat pintar. Kau juga kuat dan sehat. Tumbuhlah dengan penuh cinta dan kasih. Dad selalu menyayangimu. Dimana pun Dad berada, jauh atau dekatmu, Dad akan selalu mengingatmu. Jangan sering membantah Mom, oke? Kecuali saat dia memberimu makan terlalu banyak brokoli. Sampai jumpa di hari Natal.

Sejuta peluk dan cium sayang,

Dad


Satu... dua... tiga... empat... lima... Teng teng teng. Tepat jam 12 malam. Tepat tanggal 21 Oktober. 

Selamat ulang tahun, Lizzie

Kubisikan doa-doa kecil untuk diriku sendiri. Kulipat lagi secarik kertas kumal yang dari tadi aku genggam. Tulisan yang dulu ditulis oleh tinta hitam sekarang terlihat menguning. Untung tulisannya masih bisa kubaca. Untungnya masih bisa kubaca dari tahun ke tahun tepat di malam hari ulang tahunku. 

Surat kecil dari Dad yang selalu kusimpan dalam kotak memorabiliaku. Dad sedang berada di Argentina saat itu. Dia mengirim surat ini bersama dengan hadiah boneka kulit kayu yang dibuat oleh suku Maya lewat FedEx. Aku menerimanya dua minggu kemudian. Dan aku sangat bahagia.

Oh, aku sangat merindukanmu, Dad.

Deru suara dan raung sirene mobil polisi terdengar dari balik jendela apartemenku. Oh serius, apa ada orang mabuk lagi yang buat onar malam ini?

Tak bisakah aku diberikan malam yang tenang untuk merayakan ulang tahunku. Kutarik napas panjang dan pejamkan mata. Kadang rasa kesepian membuatku mudah marah. Sial! Masih saja aku menghardik dalam hati.

Sebaiknya aku tidur sekarang. Ya, tidur sekarang. Kutatap lagi langit-langit kamarku. Bayangan besar pohon bergoyang-goyang seolah menari di jendelaku.

Ada musik yang sangat kencang dimainkan dekat telingaku. Nyanyian-nyanyian disuarakan dengan tak merdu. Lebih terdengar seperti bisikan dan desisan yang kadang malah seperti raungan kesakitan. Tubuhku didorong ke sana kemari. Tanganku ditarik dengan kasar. Mereka menari berputar-putar. Mereka menyuruhku menari. Aku ingin ikut menari, setidaknya itu yang dimaksud oleh tubuhku. Tapi kakiku selalu kaku. Berulang kali aku tersandung dan jatuh. Mereka menarikku kembali. Aku pun berdiri lagi. Sekarang tanganku yang kaku. 

Nyanyian-nyanyian berdesis terus disuarakan di telingaku. Sungguh mengganggu sekali. Aku jatuh dan tidak bisa berdiri lagi. Kali ini mereka membiarkanku tersungkur di tanah. Sekarang aku tidak bisa mengangkat kepalaku. Tapi mereka masih saja menari. Gaun hitam mereka menyeret-nyeret gumpalan tanah dan lumpur di bawah kaki mereka. Aku tak bisa menggerakkan kepalaku. Aku ingin lihat wajah mereka. Aku ingin mengenali mereka. Tapi aku tetap tidak bisa. Tubuhku jatuh dalam posisi tengkurap dan terbaring kaku di tanah.

Sekuat tenaga kugerakkan tanganku. Kuraba-raba tanah di bawahku. Aku ingin bangun. Jari-jariku menyentuh cairan kental yang sudah membasahi hampir semua bagian tubuhku. Mataku membelalak melihat telapak tanganku penuh darah segar. Warna merahnya terang dan menyala-nyala. Apa ini darahku? Oh tidak! 

SCARLET Book 1Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora