I. Terbang Menuju Awan

240 29 40
                                    

[TERBANG MENUJU AWAN]
oleh: Shania Kurniawan (shadriella)

[]

Aku ingin terbang menuju awan.

Tidak, itu bukan kiasan. Aku ingin betulan terbang menuju awan, merasakannya sendiri dengan seluruh kakiku. Masalahnya hanya satu: aku adalah seekor semut. Aku tidak bisa terbang.

Keinginanku itu memang aneh. Banyak teman-temanku yang mentertawakan keinginanku saat aku menceritakannya kepada mereka, membuatku lebih sering diam saat bekerja. Lebih baik kudengarkan saja mimpi-mimpi rekan kerjaku yang "lebih masuk akal" dibandingkan mimpiku.

"Aku ingin membawa pulang secuil donat," kata Sem, pemimpin timku. "Pasti enak sekali kalau kita bisa membawa donat kembali ke koloni."

"Bagaimana kau tahu kalau yang kita temukan kemarin bukan donat?" tanya Temus. "Kan, yang kita temukan hanyalah remahannya."

"Pokoknya aku tahu. Kau diam saja."

Sem dan Temus malah lanjut berdebat, padahal kami seharusnya berpencar mencari makanan. Sem melarang kami pergi sebelum dia memberi perintah, jadi perdebatan mereka menghambat kami semua melakukan pekerjaan. Aku malas mendengarkan mereka. Lebih baik aku menatap langit. Hari ini, awan putih yang gemuk-gemuk berarak di langit biru.

"Aku ingin ganti kelompok saja," bisik Mumut, teman baikku. Dia mendekatiku dan ikut mendongak. "Apa yang sedari tadi kau lihat, Utse? Awan?"

"Menurutmu, awan akan terasa seperti apa?" tanyaku. "Apakah akan keras seperti meja, empuk seperti donat, atau lembut seperti kapas? Kurasa akan seperti kapas. Bentuknya mirip."

"Entahlah. Memangnya, ada yang bisa terbang hingga menemui awan?"

"Burung-burung menemui awan setiap harinya. Lihat burung itu. Dia terbang melalui awan."

Di langit, ada seekor burung yang terlihat terbang. Dia tampak hilang ditelan awan, untuk muncul sedetik kemudian di ujung lainnya. Aku sering melihat burung-burung melakukan itu. Sepertinya awan adalah sesuatu yang menyenangkan untuk dilalui.

"Apa yang dilakukan burung itu di awan?" tanya Mumut.

"Entahlah. Tapi aku yakin, mereka menyukainya. Aku ingin menemui awan dan merasakan kebahagiaan yang sama."

Sebelum Mumut sempat membalas, Sem memanggil kami semua dan membagi-bagikan tugas. Aku menatap langit satu detik lebih lama, lalu bergegas pergi. Suatu hari nanti, aku akan pergi ke langit. Lihat saja.

...

Semut-semut tidak biasanya memiliki hari libur, tetapi hari ini aku izin pada Sem untuk tidak bekerja. Aku bilang padanya kalau aku ingin beristirahat karena kepalaku sakit. Biasanya Sem tidak mengizinkannya, tetapi dia setuju dan memberiku waktu istirahat.

"Kau istirahat saja, tidak usah coba-coba pergi ke awan," kata Sem sambil tertawa. Beberapa semut di sekitar kami ikut tertawa.

Aku mengabaikannya dan segera pergi. Koloni kami membangun rumah di sebuah lapangan, di dekat beberapa pohon tinggi. Aku tahu, jika aku naik hingga cukup tinggi, aku akan bisa dekat dengan awan. Rencanaku sederhana. Aku akan diam di sebuah daun yang hendak gugur, lalu aku akan terbang bersamanya. Mungkin, jika ada angin yang cukup kencang, aku akan bisa terbang mencapai awan.

Aku sudah berencana pergi diam-diam, tetapi Mumut melihatku pergi. Bukannya mengikuti Sem, Temus, dan lainnya, dia malah mengikutiku.

"Utse, kau izin tidak bekerja hari ini?" tanya Mumut. "Kau mau ke mana?"

"Pergilah, Mumut," ujarku tanpa menoleh padanya.

Aku bergegas menuju pohon terdekat—yang tampaknya paling tinggi. Saat aku menoleh ke belakang, Mumut sudah tidak mengikutiku. Aku mempercepat langkahku, dan tahu-tahu, aku sudah tiba di akar pohon. Tanpa ragu-ragu aku berjalan naik, melewati semut-semut lain yang berjalan turun. Terus, dan terus, hingga aku tiba di puncak.

Dengan saksama aku memperhatikan daun-daun yang ada di puncak. Daun-daun yang hendak gugur ada di bawah, padahal aku baru bisa mencapai awan jika meluncur dari puncak pohon. Rupanya aku tidak merencanakan kegiatanku dengan baik.

"Apa yang semut kecil sepertimu lakukan di atas sini?"

Aku tersentak melihat seekor burung merpati hinggap di dekatku. Aku tidak ingat apa-apa tentang merpati, tetapi mereka tidak memakan semut, kan? Semoga saja tidak. Aku masih ingin menyentuh awan.

"H-hai," kataku takut-takut.

"Tenang saja, aku tidak akan melukaimu." Merpati itu tersenyum. "Namaku Erpa. Siapa namamu?"

Meski ragu-ragu, aku menjawabnya, "Utse. Aku ingin terbang menuju awan."

"Ah." Erpa mengangguk-angguk. "Apa yang ingin kaulakukan di sana?"

"Tidak tahu. Aku hanya ingin merasakan awan."

"Benar? Karena aku pernah bertemu dengan setangkai bunga matahari yang begitu ingin menemui langit, dia rela mati hanya untuk mencapainya. Apa kau tahu risiko yang kauambil?"

Pertanyaan Erpa membuatku diam. Aku tahu risikonya. Jika aku terbang mengikuti angin, aku bisa saja jatuh di wilayah yang tidak kuketahui. Tanpa teman dan rekan kerjaku, aku tidak akan bisa hidup. Bahayanya besar sekali jika aku nekat melakukan rencanaku.

"Bisakah kau membantuku?" tanyaku. "Kau bisa terbang tinggi hingga menyentuh awan, kan? Bisakah kau membawaku ke awan, lalu menurunkanku lagi di pohon ini?"

Erpa berpikir sejenak. "Kurasa bisa. Naiklah ke daun kecil itu dan pegang dengan erat. Aku akan membawamu terbang menuju awan."

Aku menuruti ucapan Erpa. Aku mencoba berpegangan pada daun itu seerat mungkin, selagi Erpa mematuk tangkai daun itu hingga patah. Tubuhku kecil, dan angin bisa dengan mudahnya meniupku jatuh. Semoga saja aku berhasil selamat hingga menemui awan.

Angin bergerak begitu kencang saat kau berada tinggi di atas seperti ini. Aku berusaha memegang daun erat-erat dengan kaki-kakiku. Semut memang tidak didesain untuk terbang tinggi. Aku takut. Akankah aku berhasil tiba?

Sebelum aku sempat khawatir, Erpa terbang menembus sesuatu yang mirip kabut dengan perlahan. Rasanya lembut, dingin, dan sedikit basah. Mataku hanya bisa melihat warna putih, yang melingkupiku dan membuatku merasa seperti ada di dunia penuh sihir. Sesaat kemudian, kami melewatinya, bertemu lagi dengan langit biru cerah dan sinar matahari yang menyinariku hangat.

Aku baru menyadari, bahwa aku baru saja terbang melintasi awan.

Erpa membawaku menembus dua awan lagi sebelum menurunkanku di akar pohon yang tadi. Aku masih terpana, tidak sepenuhnya yakin apa yang baru saja aku alami itu adalah sebuah kenyataan. Erpa tersenyum geli saat melihatku.

"Bagaimana? Kau menyukainya?"

Aku menoleh padanya. Dengan terhuyung-huyung, aku berjalan mendekati kaki Erpa dan memeluknya. "Terima kasih banyak, Erpa. Aku sangat menyukainya."

Erpa menepukku pelan dengan bulunya. Setelahnya, dia terbang pergi. Aku berjalan kembali ke rumah, masih sedikit terpana dengan apa yang baru saja aku alami.

Mumut menghampiriku. "Utse? Apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?"

Aku menatapnya lekat. "Aku berhasil terbang menuju awan!"

"Benarkah? Awan itu seperti apa?"

Sambil berjalan menuju rumah, aku menceritakan seluruh pengalamanku barusan—pengalaman singkat, tapi akan selalu kusimpan di dalam hati.

"Suatu hari nanti, Mumut, akan kuajak kau terbang menuju awan."

ANTOLOGI HaN #1 - Tell Me Tales of Last YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang